Wapres Simulacrum ditengah Krisis

Negara ini tidak butuh pemimpin yang sekadar hadir di layar, tapi yang hadir di hati dan kehidupan rakyat. Bukan yang sibuk pose di panggung seremoni, tapi yang berani mengambil keputusan sulit di tengah badai. Bukan yang menumpang nama besar keluarga, tapi yang membawa gagasan besar untuk bangsa.

Indonesia Rugi karena Anak Haram Konstitusi

Istilah “anak haram konstitusi” yang muncul di ruang publik pasca pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden bukanlah sekadar ekspresi emosional. Ia merepresentasikan kekecewaan mendalam terhadap praktik politik yang dianggap telah merusak marwah konstitusi dan merendahkan etika demokrasi.

Perubahan syarat usia calon melalui putusan Mahkamah Konstitusi menjadi preseden yang problematik—dianggap sebagai bentuk rekayasa hukum demi mengakomodasi kepentingan politik keluarga.

Dalam perspektif constitutionalism, konstitusi seharusnya menjadi norma tertinggi yang membatasi kekuasaan dan menjamin keadilan. Namun, seperti dikatakan oleh David Held (2006), “democracy without constitutional integrity risks becoming a tool for authoritarian consolidation.”

Dalam kasus ini, konstitusi tidak lagi menjadi alat pembatas kekuasaan, melainkan dikompromikan demi kelanggengan dinasti politik.

Fenomena ini juga menunjukkan gejala elite capture, yakni ketika proses dan institusi demokrasi dikendalikan oleh sekelompok elite untuk mempertahankan kepentingannya.

Seperti dikemukakan oleh Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail (2012), negara yang mengalami political capture oleh elite akan sulit membangun institusi inklusif, dan pada akhirnya justru menciptakan stagnasi ekonomi dan ketimpangan sosial yang makin dalam.