Harapan di Tengah Kacau Politik
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 3 jam yang lalu
- comment 0 komentar

Oleh: Yantho Bambang
Rohaniwan Rogationis, tinggal di Manila
DIAGRAMKOTA.COM –Â “Negara di Ujung Tanduk.” Itulah judul sebuah novel terkenal karya Tere Liye yang paling diminati dan sering dibaca.
Buku yang memiliki 360 halaman ini menggambarkan ketidakadilan, kebohongan, pengkhianatan, kerusakan, perjuangan, dan harapan dalam masyarakat yang sedang tertekan.
Meskipun novel tersebut merupakan karya imajinasi, jika dilihat lebih mendalam, cerita dan kondisinya tampak sedikit sesuai dengan skenario dan situasi yang terjadi di negara kita saat ini.
Sama seperti keadaan yang digambarkan dalam novel tersebut, keadaan negara kita saat ini semakin memburuk; demokrasi menurun, korupsi meningkat, ketidakadilan dan kemiskinan merajalela, kesenjangan sosial semakin lebar, serta pengkhianatan demi pengkhianatan semakin parah.
Ironisnya, dalam kondisi bangsa yang demikian, muncul kabar terbaru yang kemudian memicu berbagai respons dan kritik, di mana pemerintah secara resmi mengangkat presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai pahlawan nasional.
Sikap dan kritik tersebut memang wajar karena semakin menegaskan ketidaklogisan politik negara kita saat ini.
Soeharto dan Pahlawan Nasional
Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sejati sesungguhnya merupakan puncak ketidakmasukakalan dalam politik negara ini.
Mengapa? Karena membicarakan sosok Soeharto selalu tidak bisa dilepaskan dari rezim yang pernah memimpin negara ini selama beberapa dekade.
Meskipun memiliki berbagai kontribusi dalam pembangunan (infrastruktur), pertanian, serta memodernisasi bangsa, masyarakat tetap mengingat pemerintahannya sebagai pemerintahan totaliter dan sentralistik.
Di mana-mana, pemerintahan yang memiliki sifat demikian cenderung bersifat korup dan tidak adil, sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton, “kuasa cenderung merusak, dan kuasa mutlak merusak secara mutlak”, artinya kekuasaan cenderung membuat korup, dan kekuasaan absolut pasti menyebabkan korupsi.
Sifat pemerintahan seperti itu cenderung menerapkan motto Raja Prancis, Louis XIV, “L’etat, c’est moi” yang berarti negara adalah saya.
Menurut Hannah Arendt, personifikasi kekuasaan seperti itu pasti berbahaya karena segala sesuatu menjadi sah dan dibenarkan.
Sejarah Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Soeharto menunjukkan bahwa pernyataan Lord Acton dan Arendt benar, yaitu penggunaan kekuasaan secara berlebihan oleh Soeharto menyebabkan berbagai bencana atau krisis, termasuk di bidang ekonomi, politik, sosial, lingkungan, moral, dan kemanusiaan.
Di sektor ekonomi, kita mengetahui adanya krisis yang menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami penurunan sementara utang luar negeri berkembang secara pesat.
Selanjutnya di bidang politik, tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme marak terjadi dan bahkan menjadi budaya.
Di tengah struktur sosial, perbedaan antara kalangan elit dan masyarakat luas terasa sangat jelas, serta konflik sosial yang tidak bisa dihindari.
Kemudian dari sisi ekologis, kita tahu, bumi pertiwi mulai rusak karena segera setelah dilantik sebagai presiden dan selanjutnya ia membuka pintu lebar-lebar bagi investor asing untuk menguras sumber daya negara ini.
Selanjutnya dalam kerangka etika dan kemanusiaan, terdapat banyak sekali kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan laporan dari kompas.com, setidaknya terdapat beberapa kasus pelanggaran berat selama masa pemerintahan Soeharto, antara lain; pembunuhan misterius (1981-1985), peristiwa Tanjung Priok (1984-1987), peristiwa Talang Sari (1984-1987), peristiwa 29 Juli 1996, peristiwa Trisakti pada 12 Mei 1998, serta kerusuhan yang terjadi pada 13 hingga 15 Mei 1998 (Kompas.com, 23 Oktober 2025, 17:29 WIB).
Tumpukan krisis dan bencana tersebut akhirnya memicu munculnya reformasi sebagai bentuk perlawanan dan perbaikan menyeluruh terhadap pemerintahan Soeharto yang otoriter.
Namun hingga kapan pun, masa gelap tersebut akan tetap terukir dalam ingatan masyarakat karena merupakan bentuk tindakan jahat dan pengkhianatan terbesar terhadap sesama saudara sebangsa dan setanah air yang pernah terjadi.
Oleh karena itu, memberikan gelar atau penghargaan sebagai pahlawan nasional kepada seseorang yang diingat sebagai simbol totaliter dan korup tidak hanya melukai hati nurani keluarga para korban yang sedang menantikan keadilan dan kebenaran atas tindakan rezim, tetapi juga hati nurani seluruh bangsa Indonesia.
Tindakan tersebut tidak hanya berpotensi merusak prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti nilai keadilan, kebenaran, dan hak asasi manusia, tetapi juga berisiko membawa negara ini ke ambang kehancuran.
Melampaui pragmatisme politik
Benar, jika dilihat lebih mendalam, beberapa isu yang dihadapi negara kita saat ini, termasuk penunjukan Soeharto sebagai pahlawan nasional, sebenarnya berasal dari konflik kepentingan atau sering disebut sebagai politik pragmatis.
Namun tanpa disadari, tindakan tersebut akhirnya membawa negara ini ke dalam jurang krisis. Dan di tengah kondisi bangsa yang semakin memburuk dan tidak masuk akal, muncul pertanyaan, apakah masih ada harapan agar bangsa ini dapat selamat? Jawabannya “ya”.
Karena seperti cerita fiksi dalam novel Negeri Di Ujung Tanduk – yang telah saya sebutkan di bagian awal – karya Tere Liye, meskipun berada dalam situasi krisis (ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, KKN, dan pengkhianatan), sebenarnya masih terdapat semangat harapan yang menyala.
Di manakah api harapan itu? Api harapan tersebut terletak di dalam diri kita sebagai anak bangsa, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat biasa.
Ia hanya perlu dihidupkan dengan sesuatu yang sederhana, yaitu dengan menciptakan komitmen untuk melebihi praksis politik yang telah lama merusak dan mengikis moral serta semangat bangsa ini.
Bentuk komitmen untuk melebihi prinsip-prinsip politik yang sekadar mengutamakan keuntungan adalah dengan berani menghentikan kebohongan dan mulai memperjuangkan keadilan.
Ini adalah tindakan nyata dalam usaha menyalakan semangat harapan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi bangsa.
Karena terus-menerus menyembunyikan serta mempermainkan keadilan dan kebenaran hanya akan memperparah kondisi dan meningkatkan risiko pengulangan kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Oleh karena itu, pemerintah perlu bersikap jujur, bertanggung jawab, dan terbuka dalam memimpin bangsa yang besar ini. Berikan pendidikan politik yang tepat kepada generasi penerus bangsa.
Mereka juga memerlukan teladan yang baik dari para pemimpin mengenai bagaimana menjadi seorang pemimpin dan warga negara yang tidak hanya setia, tetapi juga aktif berkontribusi dalam membangun bangsa dan negara.
Jangan biarkan mereka terbenam dalam lautan ketidakpastian mengenai apa yang telah, sedang, dan akan terjadi di negara ini.
Jangan biarkan mereka merasa jenuh terhadap negara. Juga jangan membiarkan mereka tertipu oleh kebohongan yang sering diulang hingga dianggap sebagai kebenaran.
Mereka sudah cukup khawatir menghadapi masa pasca-kebenaran yang membuat pandangan hidup mereka menjadi bingung.
Dan, oleh karena itu, negara sebagai fondasi penyelamat harus berani menciptakan narasi alternatif dengan mulai menyebarkan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.
Karena hanya dengan cara itu negara ini dapat selamat meskipun berada di ambang kehancuran. (*)





Saat ini belum ada komentar