Krisis literasi sains makin parah? Pakar ungkap 3 sekat yang bikin hoaks kalahkan ilmu pengetahuan
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 37 menit yang lalu
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM — Ruang digital yang terus meluas justru memperlebar jarak antara ilmuwan dan masyarakat.
Hoaks, pseudosains, serta rendahnya kemampuan memilah informasi membuat publik masuk ke fase krisis literasi sains.
Transformasi pendidikan perlu menyentuh akar persoalan agar ilmu pengetahuan tidak berhenti di kampus.
Akses pengetahuan harus hadir mengikuti denyut masyarakat yang kini terpaut kuat dengan platform digital.
Prof Ahmad Najib Burhani, Dirjen Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek, menegaskan bahwa era sekarang memasuki fase the death of expertise, ketika kepercayaan pada pakar mulai memudar.
Fenomena weaponization of expertise turut muncul saat keahlian dijadikan alat untuk kepentingan non-ilmiah.
Transformasi pendidikan tinggi kerap dibayangkan sebatas modernisasi teknologi seperti AI, big data, atau ruang kuliah virtual.
Najib menegaskan bahwa kemajuan teknologi tidak memiliki makna jika ilmu tidak mampu menghubungkan perbedaan dengan masyarakat.
Pernyataan itu disampaikan dalam Seminar dan Workshop Nasional “Fuel Your Potential” yang diadakan di Sasana Budaya Ganesha, Bandung.
Acara ini menekankan peran komunitas akademik sebagai penyampai ilmu pengetahuan di masa digital.
Tiga Penghalang Ilmu Pengetahuan bagi Masyarakat Umum
Prof Najib mengungkapkan tiga batasan utama yang memisahkan ilmu pengetahuan dari masyarakat.
Pertama, batasan ini bersifat eksklusif karena ilmu dianggap sebagai hal yang khas dan jauh dari kehidupan sehari-hari.
Banyak penelitian berkualitas internasional tetap tidak dipahami oleh masyarakat.
Lokasi kampus sering kali terputus dari isu nyata yang dihadapi masyarakat.
Hambatan kedua adalah kesulitan dalam komunikasi, karena lebih dari 80% informasi yang beredar hanyalah data yang tidak berguna.
Kurangnya ruang untuk sains menyebabkan berita palsu mengenai kesehatan dan pangan menyebar lebih cepat dibandingkan temuan ilmiah.
Pembatasan ketiga terkait dengan partisipasi masyarakat yang selama ini hanya dianggap sebagai pihak yang menerima manfaat.
Faktanya, masyarakat memiliki pengetahuan tradisional yang melimpah, misalnya teknologi penyimpanan padi yang dimiliki oleh suku Baduy.
Najib menekankan bahwa ilmu pengetahuan perlu berkembang menjadi gerakan masyarakat, bukan hanya milik institusi pendidikan tinggi.
Tindakan strategis melibatkan partisipasi masyarakat, penguatan penelitian yang berbasis pada pengetahuan lokal, serta komunikasi ilmu yang lebih efektif.
Perubahan dalam pendidikan tinggi perlu memastikan bahwa ilmu pengetahuan memberikan dampak nyata kepada masyarakat, bukan hanya berfokus pada teknologi yang sangat canggih.
Ketidakseimbangan literasi sains harus segera diatasi di tengah maraknya penyebaran informasi yang salah.
Prof Yudi Darma, Direktur Diseminasi Kemendiktisaintek, menganggap bahwa ilmu pengetahuan perlu memiliki tempat yang baru agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman.
Kolaborasi dengan platform digital seperti TikTok mulai meruntuhkan batas kaku antara akademisi dan ruang publik.
Gawai kini berfungsi sebagai ruang bertemu antara ilmuwan dan masyarakat.
Usaha menghadirkan hasil penelitian kepada masyarakat harus terus ditingkatkan agar manfaatnya dapat dirasakan lebih luas.
Acara akademis semacam ini berperan penting sebagai dasar dalam menyusun strategi literasi digital yang bersifat inklusif.
Partisipasi masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan yang memperkaya karya ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Berdasarkan pernyataan Stephanie Susilo, Direktur Eksekutif Tokopedia dan TikTok E-Commerce Indonesia, konten edukasi masuk ke dalam lima kategori paling diminati di TikTok.
Lebih dari 24 juta materi pembelajaran sudah tersedia dan terus berkembang.
TikTok menawarkan konten STEM yang dapat diakses dengan aman oleh para remaja, membantu mereka memahami eksperimen, teknologi, serta materi ilmu pengetahuan.
Inisiatif ini merupakan salah satu langkah untuk memperkuat daya saing bangsa serta mendukung tujuan pemerintah dalam menghasilkan sembilan juta tenaga ahli digital pada tahun 2030. ***





Saat ini belum ada komentar