Menkeu Purbaya tolak utang kereta cepat ditanggung APBN, adakah solusi menyelesaikan beban utang proyek ini?
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sen, 13 Okt 2025
- comment 0 komentar

Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Bencana Finansial yang Mengancam APBN
DIAGRAMKOTA.COM – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang dianggap sebagai proyek strategis nasional, kini menjadi sorotan utama karena utangnya yang mencapai Rp118 triliun. Ekonom dan pengamat menganggap utang ini sebagai “bom waktu” bagi keuangan negara, terutama dalam situasi krisis fiskal yang tengah dihadapi Indonesia. Dalam konteks ini, berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah utang ini terus dipertimbangkan, namun tidak semua opsi dapat diterima secara mudah.
Salah satu rencana yang diajukan adalah restrukturisasi utang dengan pihak China. Namun, proses ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Para ekonom menyatakan bahwa untuk dapat direstrukturisasi, PT Kereta Api Indonesia (KAI) harus terlebih dahulu membayar pokok utang sebagian. Setelah itu, baru bunga utang dapat ditawarkan kembali. Dalam hal ini, penawaran dari Jepang dengan bunga 0,1% per tahun dianggap lebih realistis dibandingkan bunga 2% dan 3,4% yang diberikan oleh China Development Bank (CDB). Tanpa adanya kesepakatan ini, risiko default atau kegagalan pembayaran utang akan sangat tinggi.
Skema Penyelesaian Utang yang Diajukan Danantara
Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria mengajukan dua skema untuk menyelesaikan utang proyek KCJB. Pertama, pemerintah diminta menambah penyertaan modal kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang merupakan pemimpin konsorsium kereta cepat. Kedua, infrastruktur proyek tersebut akan diserahkan kepada pemerintah. Dengan demikian, model bisnis PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) akan berubah menjadi operator tanpa kepemilikan infrastruktur.
Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak usulan ini. Menurutnya, Danantara, sebagai pengelola badan investasi BUMN, seharusnya mampu menangani masalah utang tanpa melibatkan APBN. Ia juga menyebut bahwa Danantara memiliki dividen sebesar Rp80 triliun per tahun, yang seharusnya cukup untuk menangani beban utang. Pernyataan ini memicu pertanyaan apakah keputusan Menkeu benar atau tidak.
Risiko dan Tantangan dalam Penyelesaian Utang
Dari sisi ekonomi, utang proyek ini dianggap sangat berisiko. Pendapatan yang dihasilkan dari operasional kereta cepat jauh lebih rendah dibandingkan biaya bunga utang. Misalnya, pada tahun 2024 saja, hanya 6,06 juta tiket yang terjual. Dengan asumsi harga rata-rata Rp250.000 per tiket, total pendapatan kotor hanya sekitar Rp1,5 triliun—masih jauh dari besaran biaya bunga utang. Hal ini meningkatkan risiko kerugian berantai di BUMN transportasi seperti KAI dan Danantara.
Selain itu, kondisi krisis fiskal APBN juga menjadi faktor penting. Pemerintah saat ini sedang menghadapi tekanan besar dari pembayaran bunga utang sebesar Rp599,4 triliun pada tahun depan. Jika utang KCJB ditambahkan, kemungkinan besar APBN akan semakin terbebani.
Alternatif Solusi dan Langkah yang Perlu Dilakukan
Para ekonom menyarankan agar PT KAI dan Danantara mengajukan restrukturisasi pinjaman ke China Development Bank (CDB) untuk meringankan beban utang. Meskipun tidak mudah, ini adalah langkah yang lebih realistis daripada menyerahkan infrastruktur kepada pemerintah. Selain itu, efisiensi operasional dan perluasan rute kereta cepat Jakarta-Surabaya juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan pendapatan.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, menyampaikan bahwa proses negosiasi untuk restrukturisasi utang sedang berlangsung. Tujuannya adalah mencapai struktur pembiayaan yang lebih berkelanjutan. Sementara itu, anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron, mendukung opsi restrukturisasi selama perhitungannya masuk akal.
Sejarah Awal Proyek Kereta Cepat di Indonesia
Awalnya, proyek ini diajukan oleh Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan nilai investasi US$6,2 miliar. Namun, China tiba-tiba muncul dan menawarkan investasi yang lebih murah sebesar US$5,5 miliar. Tawaran ini diterima Indonesia dan proyek pun mulai dibangun pada 2016.
Meski awalnya dianggap sebagai proyek yang bisa memberikan manfaat besar, kini proyek ini menjadi sorotan karena utangnya yang sangat besar dan dampaknya terhadap keuangan negara. Dengan berbagai tantangan yang ada, diperlukan solusi yang lebih bijak dan berkelanjutan agar proyek ini tidak menjadi beban berat bagi pemerintah dan masyarakat.
Saat ini belum ada komentar