Meresahkan! Pemkot Surabaya Serius Berantas Jukir Liar

DIAGRAMKOTA.COM – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus menunjukkan komitmennya dalam menertibkan praktik perparkiran liar yang selama ini meresahkan masyarakat. Keberadaan juru parkir liar (jukir) tak jarang menimbulkan ketidaknyamanan, pungutan liar, hingga konflik, khususnya di kawasan pusat perbelanjaan dan toko-toko modern.

Dalam operasi penertiban yang digelar baru-baru ini, sebanyak tiga orang jukir liar berhasil diamankan di wilayah Kecamatan Pabean Cantikan pada Rabu (14/5). Sehari setelahnya, Kamis (15/5), operasi serupa yang dilaksanakan di Kecamatan Sukomanunggal menjaring 13 orang jukir liar lainnya.

Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya, Ahmad Fauzi, menegaskan bahwa operasi ini tidak akan berhenti sampai di sini. Menurutnya, Dishub bersama Satpol PP dan Kepolisian akan terus melakukan operasi terpadu untuk menciptakan tata kelola parkir yang profesional dan tertib.

“Kami ingin memastikan agar seluruh area parkir di Kota Surabaya dikelola secara sah dan teratur. Ini demi kenyamanan, keamanan, dan kepastian hukum bagi masyarakat,” ujar Fauzi.

Salah satu perhatian utama Pemkot saat ini adalah bekerja sama dengan pemilik toko modern—yang selama ini sering menjadi titik rawan keberadaan jukir liar. Pemerintah mendorong agar para pemilik usaha ikut bertanggung jawab dengan menyediakan petugas keamanan atau karyawan khusus untuk menjaga area parkir mereka.

Sementara itu, banyak warga yang mengaku frustrasi dengan sikap para jukir liar yang sering bersikap arogan. Bahkan, keluhan warga kadang dianggap remeh. “Cuma dua ribu doang ribut amat,” ujar salah satu petugas, dengan nada sinis, seolah tidak memahami substansi persoalan.

Padahal, masalahnya bukan terletak pada nominal, tetapi pada prinsip. “Dua ribu itu bukan soal uang. Itu soal rasa dipalak di tanah sendiri, di depan toko sendiri, di atas trotoar yang dibangun pakai pajak sendiri,” ungkap salah satu warga yang kecewa. Ia menilai aparat sering kali bersikap pilih kasih—tajam ke warga kecil, namun tumpul saat berhadapan dengan praktik jukir liar yang terorganisir.

Kekecewaan ini pun memunculkan skeptisisme di kalangan warga. “Mana aparat, mana aktor? Kadang, seragam bukan simbol keadilan, tapi pelindung status quo,” lanjutnya. Warga merasa bahwa hukum tidak lagi menjadi alat penertiban, melainkan menjadi instrumen untuk mempertahankan ketimpangan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Menanggapi permasalahan ini, beberapa pemilik toko modern menyatakan siap untuk merekrut petugas internal demi memastikan area parkir bebas dari jukir liar. Namun mereka berharap pemerintah turut aktif melakukan sosialisasi dan pengawasan secara berkelanjutan, agar langkah ini benar-benar efektif.

Pemkot Surabaya tetap optimistis. Dengan kolaborasi antara pemerintah, pemilik toko, dan aparat penegak hukum, permasalahan jukir liar diharapkan dapat diminimalisir—bahkan dihapuskan sepenuhnya—guna menciptakan ruang publik yang aman, nyaman, dan tertib.

“Kalau toko modern menyerahkan penjagaan kepada jukir liar, itu seperti memasang pengawal dari dunia gelap. Bukan hanya melemahkan citra toko, tapi juga menegaskan bahwa modernitas mereka hanya topeng kosong. Ini bukan semata urusan parkir—ini soal siapa yang berkuasa atas ruang publik kota. Jika tidak berani bersih, jangan berharap Surabaya bisa bersih dan maju,” tegas seorang aktivis masyarakat kota.  (dk/hmz)