DIAGRAMKOTA.COM – Genap 19 tahun telah berlalu sejak semburan lumpur panas pertama kali muncul dari perut bumi di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Tanggal 29 Mei 2006 menjadi awal dari bencana ekologis terbesar di Indonesia yang meluluhlantakkan puluhan desa, industri, dan mimpi ribuan jiwa.
Namun luka itu belum benar-benar sembuh. Sejumlah Warga korban lumpur berkumpul di tepi tanggul Lapindo, Di bawah langit dan angin yang membawa bau lumpur khas, mereka menggelar doa bersama dan menabur bunga, pada kamis (29/05/2025) mereka mengenang kampung halaman yang telah lenyap tertelan semburan panas dan kesedihan yang dalam.
Sastro, salah satu korban asal Desa Jatirejo yang kini tinggal di dekat Masjid Cheng Ho, Pasuruan, masih menyimpan perihnya kehilangan. “Setiap tahun kami datang ke sini. Ini bukan sekadar mengenang rumah yang hilang, tapi juga untuk mendoakan para leluhur kami yang terkubur di bawah sana,” ucapnya sambil menatap tanggul yang berdiri bisu.
Ia menceritakan, meski sebagian besar warga telah menerima ganti rugi, masih ada yang terus berjuang karena terkendala sengketa keluarga. “Kalau kami sudah selesai, sudah dapat semua. Tapi ada tetangga saya yang belum, karena urusan warisan yang belum tuntas,” ungkapnya lirih.
Lumpur itu menenggelamkan bukan hanya rumah, tapi juga kenangan, sejarah, bahkan makam para pendahulu. “Dulu di sini ada kampung, ada tempat ibadah, ada makam. Sekarang semua sudah rata dengan lumpur. Tapi kami tetap datang, karena ada bagian dari hidup kami yang tertinggal di sini,” tambah Sastro.
Kini, kawasan ini perlahan bertransformasi menjadi destinasi wisata edukasi. Warga mulai bangkit, meski tak mudah. “Kemarin kami sudah sosialisasi dengan Dinas Pariwisata. Harapannya, kalau dikembangkan dengan serius, warga bisa tetap kerja dan tempat ini bisa punya nilai lagi,” ujarnya dengan nada optimistis.
Namun geliat wisata tak seramai dulu. Dulu orang datang penasaran. Kini, hanya segelintir yang mampir, lebih banyak bertanya daripada berfoto. “Sekarang tamunya banyak nanya, dari A sampai Z soal lumpur ini. Ya kami layani, kami cerita. Ini bagian dari sejarah kami juga,” ujar Sastro.
Meski pengunjung berkurang, semangat warga tak surut. Mereka tetap menjaga tempat ini, merawat ingatan, dan menyulam harapan di atas luka. “Kami ingin anak cucu tahu, di sinilah dulu rumah kami berdiri. Di sinilah kami mulai kembali, meski dari nol,” pungkasnya.
Tragedi lumpur Lapindo bukan sekadar bencana alam. Ia adalah kisah panjang tentang kehilangan, perjuangan, dan ketabahan manusia melawan kenyataan.(Dk/di)