Beberapa tahun terakhir, pemerintah memang telah begitu intensifnya mempromosikan dan menggencarkan digitalisasi pelayanan publik. Dalam berbagai kesempatan, beragam inovasi pelayanan publik seperti: e-KTP, dan OSS (Online Single Submission) untuk perizinan usaha, dan sebagainya memang telah diperkenalkan kepada masyarakat.
“Namun, realitas di lapangan ternyata masih terasa jauh dari harapan publik. Masyarakat masih mengeluh karena dihadapkan pada proses pelayanan publik yang tidak sepenuhnya digital, sistem yang sering error,” ungkapnya.
Tidak jarang masyarakat juga masih mengeluhkan tentang lambat dan berbelitnya pelayanan publik serta adanya kebijakan yang tidak seragam antar instansi maupun antar sistem pelayanan publik.
“Digitalisasi harusnya menyederhanakan dan mempercepat proses, bukan justru menambah panjang langkah birokrasi,” tegas Aldy.
Layanan digital yang masih setengah-setengah, memang benar telah tersedia pelayanan publik berbasis online, tetapi tetap saja mengharuskan kedatangan fisik ke kantor pelayanan. Misalnya, perpanjangan KTP maupun KTP yang hilang dan rusak bisa dilakukan online, tetapi warga tetap harus datang untuk foto ulang.
“Kurangnya transparansi dan kepastian, hampir belum ada suatu sistem yang benar-benar jelas memberikan informasi tentang kapan pengurusan layanan publik dikatakan benar-benar selesai,” imbuh Aldy.
Masyarakat sering kali masih dibuat bingung harus menunggu berapa lama dan di mana harus mengecek status layanan publik mereka.