DIAGRAMKOTA.COM – Pagelaran Budaya Catur Sagatra merupakan pentas seni klasik ragam seni gaya Surakarta, Yogyakarta, Pura Pakualaman dan Pura Mangkunegaran Surakarta. Catur Sagatra juga merupakan sebuah konsep kosmologi Jawa yang bertumpu mikro dan makrokosmos.
Pagelaran budaya yang telah berlangsung selama 2 hari yaitu 2-3 Agustus 2024 di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Masing-masing memiliki fungsi tersendiri, tetapi masih dalam satu keutuhan Gatra yang saling melengkapi.
Dengan pengertian “Kesatutubuhan” itu mengandung pesan bahwa kini adalah saat yang tepat agar keempat Dinasti Mataram itu kita bangun kembali menjadi “Catur Sagotrah” demi manunggalnya ikatan kekerabatan Trah Agung Mataram.
Tahun ini, Catur Sagatra mengambil tema “Mahadiwara Prajasena Dinasti Mataram” yang akan bercerita tentang prajurit di masing-masing “gotra” atau keturunan Kerajaan Mataram.
Tahun ini pun juga menjadi tahun pertama dimana Catur Sagatra tidak hanya menampilkan seni pertunjukan, melainkan juga menampilkan pameran dengan tema serupa.
Dalam pagelaran tersebut masing-masing penampil dari perwakilan keraton membawakan tarian (beksan) sendiri – sendiri dan ada empat perwakilan.
1. KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, menampilkan Beksan Jayenglaga. Dimana Beksan Jayenglaga merupakan beksan kakung yang menjadi Yasan Dalem (karya) ketujuh Sri Sultan Hamengku Buwono Ke – 10.
Cerita dari Beksan Jalenglaga yang merupakan beksan sekawanan ini berdasarkan lakon Panji yang mengisahkan tentang perseteruan Raden Jayanglaga dari Kerajaan Jenggala dengan Prabu Mandrasena dari Kerajaan Puser Angin. Perseteruan tersebut Prabu Mandrasena berhasil dikalahkan oleh Raden Jayenglaga. Pimpinan Produksi Widyo Purnomo Wardoyo
2. KARATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT, menampilkan Wireng Wira Iswara. Wireng Wira Iswaya merupakan bentuk Beksan Wireng baru Yasan Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIII yang diilhami dari “Wulang Dalem PB IX” yang dituangkan dalam “Serat Wira Iswara”.
Wireng Wira Iswara dapat diartikan sebagai karya tari yang berisikan nasihat atau wejangan – wejangan luhur dari seorang raja pemberani yang ditunjukan kepada para pemuda, yaitu secara khusus kepada putra dan putri dalem.
Wireng Wira Iswaya diperagakan oleh 8 penari inti yang terdiri dari 4 penari putra (putra dalem) dan 4 penari putri (putri dalem). Selain penari inti dalam Wireng Wira Iswaya juga didukung 8 abdi dalem yang bertugas nyenthir membawa properti tari yang terdiri dari tombak pendek atau talempak dan pedang. Dengan pimpinan Produksi PAA. Hari Sulistyono Sosronagoro
3. PURA MANGKUNEGARAN, menampilkan Beksan Wireng Srimpi Suralaksana Tridharma Tungga Wira diciptakan di era pemerintahan KGPAA. Mangkoenagoro X. Menceritakan tentang Prajurit Perempuan Mangkunegaran yang sedang latihan perang dan mengabdi dengan tulus tanpa pamrih dari dalam sanubari kepada KGPAA. Mangkoenagoro I yang berjuang mendukung (nyengkuyung) adeging Praja Mangkunegaran.
Beksan Wireng Srimpi Suralaksana ditarikan oleh 4 penari. 3 penari menggambarkan Dewi Sri yang melambangkan perempuan dewasa dan sumber kehidupan, Dewi Saraswati melambangkan simbol seni dan keindahan, dan Dewi Durga melambangkan kekuatan dan perlindungan
Serta 1 penari menggambarkan Wanita Mangkunegaran (Prajurit Estri) yang mengikuti zaman dan tetap menjalankan tugas sesuai nilai luhur Mangkunegaran. Dengan Pimpinan Produksi oleh GRA. Ancillasura Marina Sudjiwo.
4. PURA PAKUALAMAN, menampilkan Beksan Inum menceritakan tentang penyambutan para legiun Pura Pakualaman yang pulang dari perang perdamaian di Aceh pada masa pemerintahan K.G.P.A.A Paku Alam IV. Pada saat itu prajurit Pura Pakualaman bertugas sebagai pasukan perdamaian. Dengan Pimpinan Produksi GPH. Indrokusumo.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, SS., MA. mengatakan, kegiatan Catur Sagatra ini merupakan upaya pelestarian warisan budaya termasuk di dalamnya upaya mengenalkan budaya dari Yogyakarta dan Surakarta secara luas pada masyarakat.
“Selain sebagai pusat pengembangan budaya, kegiatan ini juga merupakan upaya keempat Karaton dinasti Mataram di Yogyakarta dan Surakarta untuk terus menjaga dan melestarikan budaya yang diwariskan leluhur.” ujarnya. (dk/chandra)