Peran Pemuda Osing Banyuwangi dalam Menggerakkan Wisata Kelas Dunia
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 6 jam yang lalu
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM – Generasi muda suku Osing, yang berasal dari masa pengasingan pada Perang Puputan Bayu, kini menjadi desa wisata terbaik di dunia.
Aroma kopi tercium saat memasuki jalan utama Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, pada sore hari Sabtu (8/11/2025).
Di sebelah kiri dan kanan jalan, ratusan orang duduk santai di kursi kayu berdesain klasik sambil menikmati sajian kopi tubruk.
Sore hari, penduduk suku Osing—suku asli Banyuwangi yang tinggal di Desa Kemiren—melaksanakan perayaan Festival Ngopi Sepuluh Ewu.
Minum kopi seharga sepuluh ribu dalam bahasa Indonesia disebut ngopi sepuluh ewu.
Nama festival tersebut menggambarkan bahwa sekitar 10 ribu cangkir kopi disajikan gratis kepada siapa saja yang hadir di acara tahunan ini.
Kopi gratis, suasana yang menenangkan, serta kehangatan penduduk. Tiga elemen ini cukup memadai untuk menarik ribuan orang dari berbagai daerah datang ke Festival Ngopi Sepuluh Ewu. Termasuk para wisatawan asing.
“Saya senang berada di sini karena semua orang ramah. Semua orang selalu tersenyum. Kopinya juga lezat,” ujar Adela, seorang wisatawan dari Ceko.
Adela tiba bersama pasangannya, Adrek. Mereka melakukan perjalanan dua hari ke Banyuwangi guna menikmati kekayaan alam dan budaya daerah paling timur Pulau Jawa tersebut.
Bahagia melihat banyak orang bersatu. Saya sebenarnya bukan penggemar kopi. Namun di sini saya minumnya untuk ikut merayakan bersama warga,” kata Sebastian, turis lain dari Prancis.
Adela, Adrek, dan Bebasitan bersatu dengan ribuan penduduk lain yang terus-menerus datang ke desa yang dihuni sekitar 2.500 jiwa.
Bukan Desa Penghasil Kopi
Desa Kemiren tidak menghasilkan kopi. Satu kuintal kopi yang disajikan dalam festival tersebut merupakan campuran arabika dan robusta yang berasal dari perkebunan di wilayah lain di Banyuwangi dan Bondowoso.
Namun, masyarakat suku Osing memiliki ikatan kuat dengan kopi dari segi budaya. Wajib bagi mereka untuk menyajikan kopi kepada tamu yang datang ke rumah.
Mereka juga memiliki kebiasaan khas yang lain. Pada setiap acara pernikahan, orang tua memberikan hadiah berupa beberapa peralatan rumah tangga kepada pengantin.
Yang selalu ada adalah sejumlah dua belas cangkir keramik kecil. Bisa berupa cangkir baru atau cangkir lama yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Gelas-gelas ini juga yang diproduksi dari setiap rumah untuk disajikan kepada para pengunjung dalam festival Ngopi Sepuluh Ewu.
“Dulunya tidak pernah terpikir oleh kami bahwa budaya sederhana yang kita miliki menarik bagi para pengunjung,” ujar Moh Edy Saputro, Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Kemiren.
Terdapat Tiga Acara Utama di Desa Kemiren
Pesta Kopi Sepuluh Ewu yang diselenggarakan setiap tahun tidak menjadi satu-satunya acara besar di desa tersebut.
Kemiren setidaknya berkontribusi dalam tiga acara pada kalender Banyuwangi Festival (B-Fest), rangkaian kegiatan pariwisata yang berhasil meningkatkan citra Banyuwangi sebagai Kota Wisata di Indonesia.
Selain Ngopi Sepuluh Ewu, terdapat dua festival lainnya yaitu Festival Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu.
“Barong Ider Bumi adalah upacara yang dilaksanakan sebagai proses pembersihan dan perlindungan. Ritual tradisional ini telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun setiap hari kedua bulan Syawal dalam kalender Islam,” jelas Edy.
Sementara Tumpeng Sewu berasal dari tradisi selamatan desa yang menyambut hasil panen yang berlimpah.
Warga suku Osing menyelenggarakannya sebagai wujud rasa terima kasih sekaligus untuk mempererat ikatan sosial di antara sesama penduduk.
“Kami berupaya mempertahankan warisan nenek moyang. Wisata menjadi kesempatan bagi masyarakat suku Osing untuk terus melestarikan tradisi,” tambah pria berusia 27 tahun itu.
Edy menjelaskan, mengubah desa adat menjadi desa wisata tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Beberapa kali coba dilakukan, namun tidak selalu menghasilkan hasil yang optimal. Desa wisata pertama kali diusulkan sekitar tahun 2013.
Berbagai aktivitas budaya diadakan guna menarik perhatian para wisatawan. Pada awalnya berjalan selama beberapa tahun, namun ketidakkonsistenan menyebabkan desa adat sempat mengalami kemunduran.
Siapkan Tujuan Budaya dengan Paket Wisata
Hanya sekitar tahun 2017, pemuda-pemuda dari suku Osing yang tergabung dalam kelompok karang taruna berusaha mengulangi hal tersebut.
Sekitar 20 pemuda membentuk Pokdarwis. Mereka menyusun beberapa titik destinasi budaya menjadi paket wisata dengan konsep yang lebih terencana.
Pemuda-pemuda yang menguasai teknologi memberikan semangat baru dalam mempromosikan Desa Wisata Adat Kemiren.
Terlebih lagi pada saat itu juga bertepatan dengan momen bangkitnya pariwisata di Bumi Blambangan.
Data pemerintah daerah yang dikumpulkan oleh Badan Statistik Nasional menunjukkan, jumlah pengunjung yang datang ke Banyuwangi pada tahun 2017 mencapai 4,9 juta kunjungan.
Peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya dengan total 4 juta kunjungan.
Mulai saat itu, jumlah wisatawan yang datang ke Banyuwangi terus meningkat setiap tahunnya, yaitu sebanyak 5,3 juta orang pada 2018 dan 5,4 juta pada 2019.
Pernah mengalami penurunan akibat wabah Covid-19, Banyuwangi terus berupaya bangkit kembali untuk memulihkan kejayaan masa lalu.
Di beberapa wilayah, pariwisata telah mengubah budaya sebuah desa. Namun tidak di Kemiren. Di sana, kearifan lokal justru semakin dipelihara karena menjadi daya tarik utama.
Masyarakat suku Osing memiliki rumah khas yang terbuat dari kayu dan bambu dengan atap yang berbeda dibandingkan rumah tradisional Jawa atau Bali. Sejak menjadi desa wisata, jumlah rumah adat semakin meningkat karena hal ini juga menjadi daya tarik,” tambah Edy pada tahun itu.
Tari Gandung Mendunia
Budaya lain dari masyarakat suku Osing yang tidak boleh dilupakan adalah Tari Gandrung.
Ini adalah sebuah tarian yang pertama kali tampil pada masa pemerintahan Belanda atau sekitar abad ke-18.
Tarian ini kini semakin dikenal berkat pertunjukan tari besar-besaran Festival Gandrung Sewu yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi.
Festival yang diselenggarakan secara rutin di pantai Selat Bali ini menjadi salah satu acara utama nasional dan masuk dalam kalender wisata Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata.
Kekayaan budaya yang diwujudkan dalam atraksi wisata mampu menjadikan Desa Kemiren sebagai salah satu desa wisata terbaik di dunia pada tahun 2025.
Kemiren tergabung dalam jaringan desa wisata terbaik dunia di kategori Upgrade Programme yang dikelola oleh UN Tourism, lembaga kepariwisataan PBB.
Kategori tersebut merupakan level kedua teratas dalam penilaian desa wisata oleh UN Tourism. Dari 72 desa wisata terbaik di dunia tahun ini, hanya dua desa wisata di Indonesia yang masuk dalam kategori tersebut.
Ratusan keluarga memperoleh penghidupan dari sektor pariwisata
Sejak Kemiren berubah menjadi desa wisata, lebih dari 200 keluarga kini menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut.
Di antaranya adalah pemandu wisata, seniman, pemilik tempat penginapan, pelaku usaha kecil menengah, pengelola rumah adat di kawasan cagar budaya, serta pemilik properti sewa atau homestay.
Jumlah pelaku jasa pariwisata di Desa Kemiren semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Saat ini, terdapat 22 usaha kecil menengah yang beroperasi di desa tersebut. Mereka menjalani bisnis mulai dari makanan-minuman hingga pakaian.
Jumlah penginapan homestay jauh lebih besar. Pihak desa mencatat, terdapat lebih dari 40 homestay yang beroperasi di kawasan Desa Wisata Kemiren.
Mayoritas merupakan rumah pribadi yang disewakan ketika ada tamu datang mengunjungi.
Beberapa di antaranya merupakan tempat tinggal berupa kamar-kamar yang secara khusus dibuat sebagai penginapan bagi tamu.
“Kehadiran pariwisata juga menjaga keberlangsungan sanggar kesenian. Di Kemiren, terdapat 18 sanggar kesenian. Semuanya merupakan sanggar yang berupaya melestarikan budaya adat suku Osing,” kata Edy.
Ratusan Orang Mengunjungi Wisata Budaya Kemiren
Setiap tahun, puluhan ribu orang berkunjung ke Desa Wisata Kemiren guna mempelajari budaya lokal.
Data yang dikumpulkan oleh Pokdarwis setempat menunjukkan bahwa rata-rata antara 2.000 hingga 4.000 kunjungan tercatat dalam buku tamu setiap tahunnya.
“Sebelum wabah Covid-19, jumlah kunjungan ke Desa Wisata Kemiren pernah mencapai 18.000 pengunjung. Kejadian ini terjadi pada tahun 2019. Namun setelah wabah tersebut, jumlah kunjungan sebanyak itu belum kembali tercapai. Kami berusaha menyajikan budaya dalam pariwisata secara maksimal agar bisa kembali mencapai pencapaian seperti dulu,” katanya.
Kebudayaan dan Pariwisata Berkembang Bersamaan
Bagi masyarakat suku Osing, budaya yang tercampur dengan pariwisata justru memberikan nilai tambah. Keduanya saling melengkapi. Adat dan kebiasaan tetap terjaga serta dihormati. Di sisi lain, asap dari dapur rumah penduduk tetap terlihat akibat berkembangnya pariwisata.
“Menurut saya, keduanya dapat berjalan bersama dengan sangat baik. Dengan menjadi desa wisata, masyarakat juga makmur. Para pemuda tidak perlu pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan,” ujar Ketua Adat Osing Desa Kemiren, Suhaimi.
Suhaimi mengungkapkan, suku Osing sejatinya memiliki berbagai kebudayaan menarik yang tidak hanya ditampilkan dalam industri pariwisata.
Sebagai contoh, masyarakat suku Osing memiliki bahasa Osing, yaitu sebuah dialek Jawa khas yang hingga saat ini masih digunakan sebagai bahasa ibu, termasuk oleh kalangan pemuda.
Bahasa Osing terdengar dalam lirik lagu-lagu kempul Banyuwangi, salah satunya yang dinyanyikan oleh legenda bernama Sumiati. Lagu dengan lirik serupa juga kerap dinyanyikan oleh penyanyi dangdut masa kini seperti Suliayana atau Wandra Resturian.
Sejarah Panjang Bahasa Osing
Suhaimi menceritakan, bahasa Osing menarik untuk diteliti karena memiliki riwayat yang panjang.
Asal usul bahasa ini berkaitan erat dengan asal muasal masyarakat suku Osing yang muncul pada masa Perang Puputan Bayu (1771-1773).
“Maka, sebagian masyarakat Blambangan yang telah lelah dengan konflik memutuskan untuk menjauh dan melepaskan diri dari pemerintahan. Mereka tidak ingin lagi terlibat dalam perang. Oleh karena itu, mereka mengubah identitas diri dengan salah satu caranya yaitu menggunakan bahasa yang berbeda. Bahasa Osing itulah yang masih digunakan hingga kini,” tambah Suhaimi.
Di Banyuwangi, penduduk suku Osing tidak hanya tinggal di Desa Kemiren. Suhaimi menyebutkan, masyarakat suku Osing tersebar di sembilan kecamatan. Setiap daerah memiliki komunitas Osing yang masih aktif.
“Yang masih mempertahankan dan melestarikan adat budaya hingga kini, salah satunya adalah Kemiren,” tambahnya.
Kampung Berseri Astra
Desa Kemiren merupakan salah satu dari 235 Kampung Berseri Astra, sebuah inisiatif berbasis masyarakat yang bertujuan untuk membentuk lingkungan yang bersih, sehat, cerdas, dan berkembang.
Kepala Desa Kemiren Mohammad Arifin menyampaikan bahwa desa yang ia pimpin menerima dukungan dari Astra sejak tahun 2024.
Dukungan tersebut terdiri dari empat dasar, yaitu pendidikan, wirausaha, lingkungan, dan kesehatan.
Di bidang kesehatan, Astra memberikan dukungan terhadap pengadaan fasilitas kesehatan serta pendampingan bagi kader kesehatan. Astra juga menginisiasi pertemuan dini untuk ibu-ibu yang sedang hamil.
Di bidang pendidikan, Astra memberikan dukungan berupa fasilitas untuk lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kemiren. Termasuk pula penyediaan alat belajar mengajar serta pelatihan bagi guru dan siswa.
Di bidang lingkungan, Astra mengajarkan warga Kemiren bagaimana memanfaatkan limbah ternak menjadi berbagai produk yang bernilai.
Seperti pupuk organik dan biogas rumah tangga, Astra juga ikut serta membentuk kelompok sadar lingkungan di Kemiren.
Terakhir, Astra juga memperkuat perekonomian dengan mengembangkan unit usaha yang berbasis budaya setempat.
“Astra juga memberikan dukungan kepada kami ketika perwakilan warga harus pergi ke Tiongkok untuk mempresentasikan program desa wisata terbaik dunia yang diselenggarakan oleh UN Tourism di Tiongkok pada bulan Oktober lalu. Sehingga desa kami bisa masuk sebagai salah satu desa wisata terbaik di dunia,” katanya.
Kebijaksanaan dan Budaya Setempat Dijaga
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi yang dijabat oleh Plt, Taufik Rohman menyampaikan bahwa prestasi Desa Kemiren di tingkat internasional didasarkan pada kearifan dan budaya lokal yang dijaga dengan penuh ketulusan.
Tugas utama saat ini, menurutnya, adalah memastikan Kemiren tetap konsisten dalam menjaga dan mengembangkan budaya serta membangkitkan sektor pariwisata.
“Penyelenggaraan penghargaan internasional ini tidak boleh membuat kita menjadi puas diri. Harus terus ada inovasi dalam berbagai bentuk yang menjadikan Kemiren tetap dikenal sebagai desa wisata terbaik di dunia,” ujar Taufik. ***





Saat ini belum ada komentar