Kehidupan Warga Rempang Sebelum Proyek Strategis Nasional Masuk
DIAGRAMKOTA.COM – Warga Kampung Sembulang Hulu, Pulau Rempang, bernama Sukri memberikan kesaksian sebagai saksi dalam gugatan proyek strategis nasional (PSN) di Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang yang berlangsung pada Kamis, 11 September 2025, Sukri menyampaikan bahwa warga Rempang sudah sejahtera sebelum PSN masuk dan menegaskan bahwa mereka tidak memerlukan proyek tersebut.
“Saya lahir dan tinggal di Rempang. Orang tua serta nenek moyang saya juga berasal dari sini,” ujarnya saat menghadiri sidang yang dipimpin oleh Suhartoyo. Ia menjelaskan bahwa Rempang bukanlah tanah kosong seperti yang dinyatakan pemerintah selama ini. Bahkan, selama Pemilu, terdapat lebih dari 11 ribu suara yang memilih, yang bahkan dicari hingga ke pelosok pulau.
Sukri menegaskan bahwa Rempang telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Namun, ketika PSN masuk, masyarakat Rempang diabaikan. Melalui BP Batam, PSN masuk tanpa komunikasi dengan warga setempat. “Di situ ada pemaksaan kami harus keluar dari tanah kelahiran kami. Kami turun-temurun, tidak mungkin meninggalkan kampung halaman karena di situ ada makam leluhur dan sejarah.”
Ia juga membantah narasi bahwa PSN Rempang Eco City akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Menurut Sukri, warga Rempang yang bekerja sebagai petani dan nelayan sudah hidup aman dan nyaman sebelum PSN masuk. “Setelah PSN masuk, kami tersakiti dan trauma. Ada intimidasi dari BP Batam, aparat TNI dan Polisi, serta PT MEG.”
Kekerasan yang Terjadi di Rempang
Pada 7 September 2024, terjadi kekerasan di Rempang. Tim terpadu yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP, dan Ditpam BP Batam mencoba masuk ke Rempang menggunakan kekerasan. Warga ditembaki gas air mata, dan rumah serta sekolah di Rempang juga dirusak. “Peristiwa itu sangat berdarah dan menyakitkan bagi kami,” kata Sukri.
Pada 7 September 2025, warga Rempang memperingati dua tahun tragedi tersebut dengan menggelar pasar murah sebagai bukti bahwa hasil bumi dan laut Rempang melimpah. “Kami hidup sejahtera sebelum PSN masuk. Ketika harga BBM naik, sembako pun naik, tetapi kami tidak pernah mengeluh atau meminta bantuan,” ujarnya.
Sukri juga menjelaskan bahwa warga Rempang mampu membiayai pendidikan anak-anaknya hingga sarjana dari hasil bumi dan laut. “Sebelum PSN masuk, tidak ada yang kurang bagi kami.”
Kriminalisasi dan Kurangnya Perhatian Wakil Rakyat
Selain itu, Sukri menceritakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh PT MEG. Beberapa warga Rempang menjadi korban seperti luka patah tangan, kepala pecah, bahkan terkena busur panah. “Kami menderita setelah PSN masuk. Kami dianggap tidak ada, seperti binatang. Mereka menganggap kami bodoh dan mengusir kami seenaknya,” katanya dengan suara bergetar.
Ia juga menyebut absennya wakil rakyat di Pulau Rempang, sehingga warga tidak tahu harus mengadu ke siapa. “Kami di Rempang tidak punya siapa-siapa lagi. Kami punya polisi, pengayom masyarakat, tapi mereka tidak ada untuk kami. Bahkan mereka yang mengintimidasi kami,” ujarnya sambil mengusap air matanya.
Pendapat Ahli dan Penjelasan BP Batam
Dalam sidang tersebut, juga hadir Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, yang menilai bahwa PSN telah menyengsarakan warga dan menghilangkan ruang hidup yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Ahli lainnya, Dianto Bachriadi dari Agrarian Resource Center (ARC), menegaskan bahwa UU Cipta Kerja yang membuat PSN bisa diserahkan ke swasta, termasuk soal pengadaan tanah, bersifat rentan karena hanya berorientasi keuntungan.
Kepala Biro Umum BP Batam, Mohammad Taopan, menyatakan bahwa BP Batam menghargai upaya warga Rempang. “BP Batam tentunya menghargai proses tuntutan ke MK itu,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa BP Batam akan menerima semua keputusan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi. “Dan kita juga support informasi apa yang dibutuhkan,” tambahnya. (*)