Pemkot Dianggap Gagal Atasi Komersialisasi, Kayutangan Terancam Kehilangan Jiwa Warisan
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Jum, 5 Des 2025
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM – Wilayah Koridor Kayutangan yang selama ini dijuluki sebagai wajah warisan Kota Malang kini dinilai memasuki tahap krisis identitas. Kritik tajam datang dari pengamat bangunan bersejarah, Budi Fathony, yang menganggap pemerintah kota gagal menjaga nilai sejarah wilayah tersebut dari pengaruh komersialisasi yang tidak terkendali, khususnya maraknya pemasangan spanduk tanpa pertimbangan estetika.
Tinjauan ini memperpanjang daftar panjang kekhawatiran mengenai perubahan wajah Kayutangan setelah revitalisasi.
Dari area yang diharapkan menjadi tempat eksperimen sejarah kehidupan, kini secara perlahan berubah menjadi ruang visual yang penuh dengan kepentingan bisnis.
Fathony menganggap wajah Kayutangan semakin memudar akibat billboard komersial yang berantakan tanpa konsep.
Menurutnya, pemasangan iklan tanpa perencanaan yang baik hanya mencerminkan kurangnya kepedulian terhadap warisan arsitektur berkualitas yang seharusnya dilindungi dengan ketat.
“Sangat tidak menunjukkan rasa peduli. Mereka hanya bersemangat agar produk iklannya laku. Orang sudah bosan melihat billboard yang mengaburkan nilai warisan,” tegasnya, pada Jum’at (5/12/2025).
Sebagai mantan Ketua TACB Kota Malang pada periode pertama, Fathony sangat paham mengenai sejarah serta konsep awal Kayutangan Heritage.
Ia mengatakan perubahan yang terjadi justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjaga semangat kawasan tersebut.
Ia menganggap terjadi penyimpangan besar dari arah perencanaan wilayah. Kayutangan, yang seharusnya dikembangkan berbasis kampung dengan identitas warisan budaya, justru berubah menjadi jalur kuliner dan usaha.
“Kami telah memprediksi. Sekarang kampung Kayutangan sendiri tidak lagi memiliki tingkat warisan. Yang ada hanyalah kampung kuliner Kayutangan. Ini adalah kesalahan besar,” katanya.
Masalah utama yang ia tekankan adalah ketiadaan peraturan teknis terkait estetika iklan di kawasan situs warisan budaya.
Meskipun Peraturan Daerah Cagar Budaya Nomor 1 Tahun 2018 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 telah memberikan petunjuk yang jelas mengenai pelestarian.
“Peraturan daerah dan undang-undang hanya menjadi seperti harimau kertas. Bisa dimanipulasi,” katanya dengan nada tajam.
Fathony mengatakan pemerintah kota sebenarnya mampu mengawasi desain iklan agar sesuai dengan nuansa kolonial Kayutangan.
Acuan visual seperti font, komposisi warna, hingga gaya ilustrasi bisa diambil dari dokumen sejarah seperti “Malang Tempo Dulu”.
“Itu sangat mudah untuk desainer. Tapi kalau tidak ada peraturan teknis, hasilnya chaos seperti sekarang,: tegasnya.
Ia juga menyoroti hiasan dan pencahayaan wilayah yang ia sebut “bernuansa Jogja”, bukan tampilan Malang masa lalu yang ingin ditampilkan.
“Saya sangat tidak sependapat dengan pencahayaan seperti itu. Tidak bermanfaat,” katanya.
Sebagai orang yang dulu berada dalam TACB Kota Malang, Fathony menyayangkan peran lembaga tersebut yang kini dinilai melemah dan tak mampu mengarahkan pelestarian kawasan.
“Apa peran TACB sekarang? Ketika banyak muncul pengaburan heritage, TACB seharusnya paling vokal,” ucapnya.
Minimnya koordinasi antarinstansi dan kelompok masyarakat menyebabkan arah pelestarian kehilangan konsistensi.
Fathony mendesak pemerintah segera menyusun regulasi teknis yang memuat standar desain, tipografi, warna, dan tata letak reklame di kawasan heritage.
“Jika tidak, wajah Kayutangan akan terus rusak seperti pada masa 2002–2003, ketika segalanya tidak terkontrol hanya demi kepentingan ekonomi,” katanya.
Fathony juga mengingatkan bahwa Kota Malang sedang menuju predikat kota kreatif dunia. Tanpa identitas heritage yang kuat, wisatawan tak akan memperoleh pengalaman autentik.
“Pengunjung datang ingin melihat apa? Makan dan berfoto? Itu saja sudah membosankan,” tambahnya.
Menurut Fathony, ancaman terbesar tidak hanya terletak pada struktur fisik, tetapi juga pada hilangnya “genius loci” atau semangat tempat, nilai-nilai tak kasat mata yang menjadi ciri khas suatu kawasan budaya.
Ia juga menegaskan bahwa kerja sama antara tiga pilar, yaitu pemerintah, komunitas yang mampu, dan pelaku usaha, harus segera diwujudkan agar dapat menjaga wajah Kayutangan sebelum terlambat.
“Jika tidak, Kayutangan akan kehilangan identitasnya selamanya,” tambahnya.
Dengan semakin meningkatnya tekanan komersial yang tidak terkendali, masa depan Kayutangan kini menghadapi pilihan berat, tetap menjadi ikon warisan yang membanggakan, atau berubah secara permanen menjadi jalur bisnis yang kehilangan makna sejarahnya. ***





Saat ini belum ada komentar