Rp13 Miliar untuk Rumah Tangga Eri Armuji: Ketika Kemewahan Istana Bertemu Kemiskinan Rakyat
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Jum, 24 Okt 2025
- comment 0 komentar

“Menurunkan angka kemiskinan menjadi salah satu prioritas pemerintah saat ini,” kata Cak Eri dalam berbagai kesempatan.
Tapi bagaimana bisa berbicara prioritas kemiskinan saat belanja rumah tangga pribadi mencapai miliaran rupiah?
Ketimpangan dalam Satu Frame
Mari kita taruh dalam satu frame:
Di Satu Sisi:
- 105.090 warga miskin berjuang dengan Rp 775 ribu/bulan per orang
- Sutini mencuci baju orang demi Rp 50.000 sehari
- Bambang mengayuh becak dengan harapan Rp 70.000 per hari
- Ribuan keluarga makan nasi kecap karena lauk mahal
Di Sisi Lain:
- Rumah tangga 2 pejabat: Rp 13,4 miliar/tahun
- Setara dengan menghidupi 3.600 keluarga miskin
- Atau 197 keluarga miskin hidup selama sebulan dari belanja RT wali kota selama sebulan
Ini bukan soal iri atau dengki. Ini tentang keadilan alokasi anggaran publik di tengah keterbatasan sumber daya negara.
Panggilan untuk Transparansi dan Audit
Sebagai penulis, saya tidak menuduh adanya penyimpangan atau korupsi dalam penggunaan anggaran ini. Belanja rumah tangga kepala daerah adalah hak yang diatur peraturan.
Namun, ada dua pertanyaan mendesak yang perlu dijawab:
Pertama: Transparansi.
Masyarakat berhak tahu detail penggunaan Rp 13,4 miliar itu untuk apa saja. Tidak cukup hanya mencantumkan “Belanja Rumah Tangga Kepala Daerah” tanpa rincian. Dalam era keterbukaan informasi publik, ini harus diaudit dan dipublikasikan.
Kedua: Proporsionalitas.
Apakah angka Rp 8,8 miliar untuk rumah tangga wali kota masih wajar di tengah 105 ribu warga yang hidup dengan Rp 775 ribu per bulan? Apakah tidak ada mekanisme efisiensi yang bisa dilakukan agar sebagian dana bisa dialihkan untuk program pengentasan kemiskinan?
Epilog: Ketika Rakyat Menunggu Keadilan Anggaran
Sore itu, di teras rumahnya yang sempit, Sutini masih sibuk melipat cucian. Ketika ditanya soal belanja pejabat yang fantastis, ia hanya tersenyum pahit.
“Ya gimana ya, Mas. Rakyat kecil kan nggak bisa ngomong. Yang penting anak-anak bisa sekolah, bisa makan. Sisanya, urusan mereka yang di atas,” ujarnya.
Kata-kata sederhana itu menyimpan kepasrahan yang dalam. Pasrah terhadap sistem yang menempatkan kemewahan segelintir orang di atas kebutuhan dasar ribuan keluarga.
Di sinilah letak ironi terbesar: Di kota yang merayakan penurunan angka kemiskinan, belanja dua rumah tangga pejabat setara dengan harapan hidup 3.600 keluarga miskin.
Dan mereka, para Mariyati dan Kusni di seluruh Surabaya, masih menunggu keadilan anggaran yang sesungguhnya.
Data Penting Rp13 Miliar untuk Rumah Tangga Eri Armuji:
Belanja Rumah Tangga Pemkot Surabaya 2025:
- Wali Kota Eri Cahyadi: Rp 8.866.056.640
- Wakil Wali Kota Armuji: Rp 4.592.473.572
- Total: Rp 13.458.530.212
Kemiskinan Surabaya (Maret 2025):
- Jumlah penduduk miskin: 105.090 jiwa (3,56%)
- Garis kemiskinan: Rp 775.597/kapita/bulan
- Garis kemiskinan per RT: Rp 3,74 juta/bulan (untuk 4,83 orang)
Bantuan Sosial PKH 2025:
- Ibu hamil/nifas: Rp 3 juta/tahun
- Balita: Rp 3 juta/tahun
- Siswa SD: Rp 900 ribu/tahun
- Siswa SMP: Rp 1,5 juta/tahun
- Siswa SMA: Rp 2 juta/tahun
Perhitungan:
- Dengan Rp 13,4 miliar bisa membantu 3.600 keluarga miskin selama 1 tahun (asumsi PKH Rp 3,7 juta/KK/tahun)
- Setara 16,5% dari total warga miskin Surabaya
- Belanja RT Wali Kota 1 bulan = 197 rumah tangga miskin hidup 1 bulan
Data diolah dari sistem LKPP, BPS Surabaya, dan Kementerian Sosial RI. *
*Penulis: Hari Agung (Barikade 98)




