Moroseneng: Jejak Panjang Prostitusi Benowo yang Tak Kunjung Padam
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Kam, 9 Okt 2025
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM – Di balik geliat pembangunan Kota Surabaya, masih tersimpan kisah lama yang belum sepenuhnya tuntas: Moroseneng, kawasan di Kecamatan Benowo yang dulunya menjadi salah satu lokalisasi terbesar setelah Dolly. Meski telah dinyatakan tutup sejak 2013 oleh pemerintahan Walikota Tri Rismaharini, denyut bisnis prostitusi di kawasan ini ternyata belum sepenuhnya padam.
Secara geografis, Moroseneng berada di perbatasan Kelurahan Klakah Rejo dan Sememi. Nama “Moroseneng” berasal dari istilah Jawa “Moro Seneng”, yang berarti datang pasti senang — sebuah ungkapan yang dulunya menjadi simbol ketenaran kawasan itu sebagai tempat hiburan malam dan prostitusi.
Penutupan resmi Moroseneng dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2013 sebagai bagian dari kebijakan besar Wali Kota saat itu untuk menutup seluruh lokalisasi di Surabaya. Namun, penutupan administratif tak sepenuhnya menghapus aktivitas esek-esek yang sudah berakar puluhan tahun di wilayah tersebut.
Salah seorang warga Sememi, yang enggan disebut namanya, mengatakan bahwa “aktivitas itu” masih terjadi meski lebih tersembunyi.
“Sekarang tidak seperti dulu, tapi kalau malam, masih ada saja yang buka pintu dari dalam. Biasanya wisma tampak terkunci dari luar, padahal di dalam ada tamu,” ujarnya.
Laporan serupa juga ditemukan oleh anggota DPRD Kota Surabaya saat melakukan inspeksi mendadak. Mereka menemukan sejumlah bangunan yang masih digunakan sebagai tempat prostitusi terselubung.
“Kami sudah berkali-kali turun. Tapi kalau sistem pengawasannya longgar, ya tetap akan muncul lagi. Penutupan tanpa pengawasan itu hanya formalitas,” tegas Imam Syafi’i, anggota DPRD Kota Surabaya.
Temuan lapangan bahkan menunjukkan bahwa sebagian pekerja seks masih aktif menawarkan jasa melalui jaringan pelanggan lama. Seorang PSK yang diwawancarai oleh media lokal mengaku melayani 4–6 klien per malam dengan tarif sekitar Rp200 – Rp250 ribu sekali kencan, dan bisa meraup hingga Rp6 juta per minggu.
Meski berbagai operasi dan razia telah digelar, kawasan itu tetap menjadi sorotan. Camat Benowo beberapa waktu lalu menyatakan pihaknya tidak tinggal diam terhadap laporan warga.
“Kami rutin melakukan patroli dan menyisir eks lokalisasi Moroseneng. Kalau ada aktivitas melanggar, pasti kami tindak,” ujarnya.
Namun, di lapangan, upaya itu belum menunjukkan hasil signifikan. Banyak bangunan yang digembok rapat atau terlihat kosong saat disisir petugas, sehingga sulit dipastikan aktivitas di dalamnya.
Sementara itu, pemerintah kota telah berupaya melakukan transformasi kawasan dengan membangun gedung serbaguna, rumah batik, hingga lapangan olahraga untuk mengubah citra Moroseneng menjadi kawasan produktif. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menegaskan bahwa pemerintah terus berkomitmen memperbaiki wajah kawasan tersebut.
“Kita tahu sejarah di Sememi ini (eks lokalisasi). Setelah Covid-19 mereda sekitar tahun 2022, saya berkeliling dan menemukan tempat ini yang sebelumnya sudah dibeli Pemkot menjadi mangkrak dan tidak terawat. Akhirnya saya panggil warga dan mereka yang ingin untuk dijadikan Gedung Serbaguna, ada Lapangan Badminton, ada Taman untuk bermain anak dan lainnya,” papar Wali Kota Eri, beberapa waktu lalu.
Meski begitu, realita di lapangan menunjukkan bahwa warisan ekonomi dan sosial dari masa lalu masih membayangi. Sejumlah warga eks pekerja seks kesulitan beralih profesi karena faktor ekonomi dan keterampilan.
Kondisi ini membuat Moroseneng tetap menjadi simbol paradoks Surabaya, antara cita-cita kota bebas prostitusi dan kenyataan sosial yang lebih kompleks. ***