Antara Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pemakzulan Wapres Gibran

FORUM OPINI479 Dilihat

*Oleh: Aznil Tan

DIAGRAMKOTA.COM – Ada anekdot pahit yang beredar di tengah masyarakat: “Saking sulitnya cari kerja di Indonesia, sampai dicarikan bapaknya.” Sindiran getir ini menohok tajam praktik nepotisme yang semakin mengakar dalam kehidupan berbangsa.

Anekdot ini menjadi cermin kekecewaan publik terhadap kompetisi kerja yang kian tak sehat, akibat maraknya praktik “orang dalam” atau ordal—istilah halus dari nepotisme. Situasi ini makin memprihatinkan di tengah sempitnya lapangan kerja dan tingginya angka pengangguran.

Kemarahan publik kembali memuncak ketika Presiden Joko Widodo—yang semestinya menjadi penjaga moral bangsa dan simbol semangat reformasi—justru menggunakan pengaruhnya, baik langsung maupun tak langsung, untuk membuka jalan bagi anak, menantu, dan kerabat dekatnya (‘Geng Solo’) menduduki posisi strategis di pemerintahan dan panggung politik nasional.

Nepotisme bukanlah hal baru di Indonesia. Pada era Orde Baru, praktik ini menjadi salah satu pilar utama yang menguatkan kekuasaan Presiden Soeharto. Keluarga Cendana, misalnya, menguasai berbagai sektor ekonomi dan pemerintahan melalui jaringan kekeluargaan dan kroniisme.

Pada era Orde Baru (1966–1998), masyarakat memelesetkan istilah ‘asas kekeluargaan’ dalam UUD 1945 menjadi bahan sarkasme, seolah konstitusi merestui kekuasaan yang diwariskan turun-temurun. Padahal, asas tersebut seharusnya mencerminkan semangat gotong royong dan keadilan sosial dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, bukan sebagai pembenaran bagi praktik nepotisme yang membungkus kekuasaan dengan prosedur demokrasi.

Dampak negatif nepotisme yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memicu meletusnya Reformasi 1998, yang menuntut Indonesia bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sebagai respons, disahkanlah Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Namun, hingga kini, belum ada definisi hukum yang jelas dan operasional mengenai “nepotisme.” Akibatnya, praktik ini terus berlangsung dan bahkan semakin kabur maknanya, terutama dalam konteks politik elektoral. Nepotisme kini sering diselubungi oleh mekanisme demokrasi seperti pemilu dan Pemilihan Presiden, seolah sah hanya karena mendapat dukungan dari rakyat.

Share and Enjoy !