Oleh : Nawi (Masyarakat Surabaya)
DIAGRAMKOTA.COM – Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, dengan percaya diri memaparkan rencana besar pinjaman Rp 5,6 triliun sebagai solusi percepatan pembangunan kota. Namun, mari kita telaah lebih dalam: apakah ini langkah brilian untuk memajukan Surabaya, atau justru bom waktu yang kelak meledak di tangan generasi berikutnya?
Dalam pernyataannya, Eri menyebut, “Kalau hanya mengandalkan APBD, pembangunan tidak akan cepat. Dengan pembiayaan alternatif ini, kita bisa mempercepat pembangunan sekarang dan tinggal membayar cicilannya.” Sepintas, gagasan ini terdengar masuk akal. Tetapi, langkah memprioritaskan utang di depan, meski menjanjikan akselerasi pembangunan, tetap mengundang pertanyaan: bagaimana pemerintah kota memastikan manajemen utang ini tidak menjadi jerat fiskal di masa mendatang?
Eri juga menjelaskan bahwa dana ini akan digunakan untuk proyek strategis, seperti pembangunan Jalan Menganti-Wiyung hingga kawasan Lidah yang dirancang sebagai pusat ekonomi. Ia bahkan menyebut, “Setiap sisinya akan menjadi tempat makan, sehingga ekonomi bisa bergerak dan tumbuh di sana.” Tetapi, benarkah infrastruktur ini otomatis menjadi mesin penggerak ekonomi? Bagaimana jika potensi pertumbuhan yang diharapkan tidak sesuai rencana?
Di sisi lain, program makan bergizi gratis (MBG) yang membutuhkan tambahan Rp 1 triliun juga mendapat porsi dari pinjaman ini. “Kita sepakat dengan DPRD bahwa belanja infrastruktur tidak boleh dikurangi karena penting untuk menggerakkan ekonomi,” kata Eri. Sekali lagi, penggunaan dana untuk program populis ini terlihat menggembirakan. Namun, apa jaminannya bahwa pembiayaan ini tidak mengorbankan prioritas kebutuhan dasar lainnya, seperti perbaikan layanan kesehatan atau pendidikan?
Lebih menarik lagi, Eri menyatakan bahwa skema pembayaran utang ini tidak akan membebani wali kota selanjutnya. “Kita sepakat pembayaran itu selama 5 tahun. Karena saya tidak ingin membebani wali kota selanjutnya,” ujarnya. Kalimat ini tampak heroik, tetapi adakah jaminan konkret bahwa pembayaran utang akan selesai sesuai jadwal tanpa mengganggu program lain di masa depan? Apalagi, kita berbicara tentang angka yang tidak kecil: Rp 5,6 triliun.
Ambisi besar tentu dibutuhkan untuk membangun kota sebesar Surabaya, tetapi bukan berarti harus dengan menggantungkan keberhasilan pada utang yang berisiko tinggi. Apa yang Surabaya butuhkan adalah kebijakan yang lebih bijak, yang tidak hanya memikirkan pertumbuhan instan, tetapi juga keberlanjutan fiskal.
Sebagai warga, kita perlu kritis terhadap langkah ini. Setiap utang yang diambil pemerintah adalah beban yang akan kita pikul, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apakah Rp 5,6 triliun ini benar-benar untuk kepentingan kita, atau hanya menjadi proyek ambisius yang berakhir dengan warisan utang?
Eri menutup pernyataannya dengan optimisme: “Kita berharap dengan begitu ekonomi Surabaya bisa bergerak dasyat, Surabaya bisa berubah total.” Sebuah harapan yang baik, tetapi harapan saja tidak cukup. Yang kita perlukan adalah transparansi, akuntabilitas, dan perencanaan matang agar dana yang besar ini tidak justru menjadi bumerang bagi masa depan kota.
Sebagai penulis, saya hanya bisa berharap agar ambisi ini tidak menjadi pelajaran mahal tentang bagaimana utang bisa menggadaikan masa depan demi citra saat ini. Warga Surabaya berhak atas pembangunan, tetapi tidak dengan menukar kenyamanan hari ini dengan beban esok. Apa pendapat Anda?