Kejaksaan Agung Dianggap Tidak Berani Menjalankan Eksekusi Terhadap Silfester Matutina
DIAGRAMKOTA.COM – Silfester Matutina, yang dikenal sebagai loyalis Joko Widodo (Jokowi), hingga kini belum menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Ini menimbulkan pertanyaan terkait komitmen institusi penuntutan tertinggi di Indonesia, yaitu Kejaksaan Agung, dalam menjalankan putusan hukum yang berkekuatan tetap.
Kasus ini bermula dari laporan kuasa hukum mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Mei 2017. Silfester dinilai melakukan pencemaran nama baik melalui orasinya. Pada 2019, ia dihukum selama 1,5 tahun penjara. Namun, hingga saat ini, hukumannya belum dilaksanakan.
Banyak pihak mengkritik tindakan Kejaksaan Agung yang dianggap tidak berani menghadapi tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan presiden. Silfester sendiri masih aktif menjadi nara sumber di berbagai acara yang membela Jokowi.
Menanggapi isu tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa proses eksekusi terhadap Silfester Matutina adalah wewenang dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel). Ia mengatakan bahwa Kejari Jaksel sudah memanggil Silfester untuk menjalani eksekusi, namun belum ada informasi lebih lanjut tentang hasil pemanggilan tersebut.
Anang mengatakan, “Itu kan sudah ranahnya eksekutornya Kejari Jakarta Selatan.” Ia juga meminta media untuk bertanya langsung ke Kejari Jaksel mengenai langkah-langkah yang diambil.
Sementara itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan bahwa pihaknya telah memerintahkan jajarannya untuk segera mengeksekusi Silfester. Ia mengatakan bahwa Kejari Jaksel sedang mencari keberadaan terpidana tersebut.
Di sisi lain, Kejari Jakarta Selatan juga tengah menghadapi gugatan hukum terkait lambannya eksekusi. Gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) diajukan oleh Mohammad Husni Thamrin melalui kuasa hukumnya, Heru Nugroho dan R Dwi Priyono. Sidang perdana digelar pada 28 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penggugat juga menarik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Hakim Pengawas PN Jakarta Selatan sebagai turut tergugat. Mereka menilai bahwa Kejaksaan gagal melaksanakan ketentuan UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 serta Pasal 270 KUHAP yang mewajibkan jaksa mengeksekusi putusan berkekuatan hukum tetap.
Kuasa hukum penggugat menilai bahwa pembiaran ini berpotensi mencederai prinsip kesetaraan di mata hukum. Mereka juga menilai hal ini dapat menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum.
Sebelumnya, Kejaksaan juga pernah digugat secara praperadilan oleh Aliansi untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI). Sidang perdana digelar pada 25 Agustus 2025, namun ditunda hingga 1 September karena pihak Kejari Jakarta Selatan tidak hadir.
Tantangan terhadap proses eksekusi ini menunjukkan bahwa masalah hukum tidak hanya terkait dengan pelaku, tetapi juga bagaimana lembaga penegak hukum menjalankannya. Dengan adanya gugatan dan kritik publik, Kejaksaan Agung dan lembaga terkait harus lebih transparan dan tanggap dalam menangani kasus-kasus seperti ini. (*)