DIAGRANKOTA.COM – Adanya aturan mengenai pembayaran royalti musik yang dikeluarkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kini menuai banyak tanggapan dari berbagai pihak. Jika sebelumnya aturan ini ramai diperbincangkan karena berdampak pada rumah makan dan kafe, kini para sopir bus pun mulai merasakan dampaknya secara langsung.
Salah satu sopir bus, Joko, mengaku sangat kecewa dengan adanya aturan tersebut. Saat ditemui di Terminal Purabaya Sidoarjo Rabu (20/08), ia menuturkan bahwa dirinya telah mengeluarkan biaya untuk membeli perlengkapan hiburan di dalam bus, seperti sound system dan layar LCD, demi memberikan kenyamanan penumpang selama perjalanan. Namun, kini alat-alat tersebut terkesan menjadi mubazir.
“Awalnya saya membeli alat musik di bus supaya penumpang bisa merasa terhibur dan tidak bosan di perjalanan. Tapi dengan aturan baru soal royalti musik ini, saya jadi takut untuk memutar musik. Rasanya sangat kecewa karena investasi yang saya lakukan kini tidak bermanfaat,” ujar Joko kepada Diagramkota saat dikonfirmasi.
Tidak hanya sopir, para penumpang pun ikut merasakan dampak dari aturan tersebut. Ali, seorang penumpang asal Gresik dengan tujuan Malang, mengungkapkan bahwa perjalanan kini terasa lebih membosankan. Menurutnya, suasana di dalam bus jadi sepi tanpa adanya musik sebagai hiburan penumpang.
“Saat ini perjalanan terasa hening. Biasanya ada musik yang membuat suasana lebih hidup, tapi sekarang sopir tidak berani memutarnya karena takut dengan aturan royalti. Jujur saja, jadi kurang nyaman,” kata Ali.
Berbeda lagi dengan Muhammad, seorang penumpang asal Surabaya. Ia menilai bahwa aturan ini juga merugikan perusahaan otobus (PO) pariwisata. Pasalnya, bus pariwisata biasanya identik dengan hiburan musik dan karaoke untuk menghilangkan kejenuhan dalam perjalanan jarak jauh.
“Saya pribadi sangat suka karaoke kalau naik bus pariwisata. Itu bagian dari keseruan saat bepergian, apalagi kalau sedang liburan. Tapi sekarang suasananya jadi sepi. Menurut saya, aturan ini justru mengurangi daya tarik bus pariwisata,” ujar Muhammad.
Lebih lanjut, Muhammad berharap agar aturan mengenai royalti musik ini bisa ditinjau ulang oleh pihak berwenang. Ia menekankan bahwa hiburan di dalam bus adalah salah satu faktor penting untuk menciptakan kenyamanan penumpang.
“Kalau bisa aturan ini dicabut atau ada kebijakan khusus untuk bus pariwisata dan angkutan umum. Supaya penumpang bisa tetap menikmati perjalanan dengan musik atau karaoke seperti biasanya,” tambahnya.
Di sisi lain, para sopir dan pengusaha bus merasa bingung bagaimana harus menyiasati kondisi ini. Mereka memahami pentingnya menghargai karya musisi, namun juga merasa terbebani dengan kewajiban membayar royalti.
Situasi ini pun memunculkan perdebatan mengenai keseimbangan antara hak cipta musisi dengan kebutuhan hiburan masyarakat. Jika tidak ada solusi yang jelas, bukan tidak mungkin minat masyarakat untuk menggunakan transportasi bus bisa menurun akibat berkurangnya kenyamanan perjalanan.(Dk/di)