Sweeping Jam Malam Eri Cahyadi: Melindungi Anak atau Bikin Trauma?

Surabaya Malam Hari, Anak-Anak “Disapu”

*Oleh: Agunk (Orang Tua yang punya anak remaja)

DIAGRAMKOTA.COM – Rek, bayangin lagi asyik ngopi di warkop Jalan Kenjeran, tiba-tiba Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi muncul bareng Satpol PP, nanya KTP, sekolah, dan telepon orang tuamu! Itulah sweeping jam malam yang dimulai 3 Juli 2025, sesuai Surat Edaran Nomor 400.2.4/12681/436.7.8/2025, seperti dilaporkan Suara Surabaya.

Aturan ini nargetin anak di bawah 18 tahun yang keluyuran setelah pukul 22.00 WIB tanpa kegiatan positif. Eri bilang ini buat lindungin anak dari kenakalan remaja, narkoba, sampai kekerasan.

Akan tetapi, anggota DPRD Surabaya, menegaskan pendekatan ini harus humanis dan edukatif, bukan bikin trauma. Apa iya sweeping ini solutif dan efektif, atau malah bikin anak takut dan orang tua panik?

Fakta dan Data

Pada sweeping perdana 3 Juli 2025, Eri memimpin tim gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP, menyisir Jalan Tunjungan, Bubutan, dan Kenjeran. Enam remaja kejaring di Taman Surya Nambangan cuma gara-gara nongkrong sambil ngopi. Eri langsung video call orang tua mereka, minta anaknya pulang sebelum jam 10 malam.

Menurut Polrestabes Surabaya (2024), 15% kasus kriminalitas remaja di Surabaya terjadi malam hari, memberi alasan buat kebijakan ini. Studi dari American Journal of Preventive Medicine (2019) bilang pembatasan mobilitas malam bisa turunin kecelakaan remaja hingga 23% di beberapa wilayah AS. Eri juga menyebut ini bagian dari komitmen Surabaya sebagai Child Friendly Cities Initiative (CFCI) UNICEF.

Tapi, riset dari Journal of Youth and Adolescence (2020) bilang pendekatan represif kayak sweeping bisa ningkatin stres dan rasa terkekang, bahkan memicu perilaku memberontak. Selain itu, data BPS Jatim (2023) nunjukin 12% remaja Surabaya kerja malam di sektor informal, seperti jualan, yang berisiko kena sweeping meski nggak nakal.

Kontrol Ketat Bukan Jawaban

Pendekatan Otoriter: Sweeping ini terasa kayak polisi-polisian. Semisal, Bayu, 16 tahun, pelajar SMA, kena jaring gara-gara nunggu angkot setelah les malam. Dia difoto bareng Satgas, bikin malu. Psikolog Universitas Airlangga, Dr. Rini Hapsari, bilang pendekatan yang bikin anak merasa dihakimi bisa picu depresi remaja.

Stigma Negatif: Kebijakan ini seolah nuduh semua anak yang keluar malam nakal. Padahal, banyak yang kerja buat bantu keluarga. Eri perlu filter biar nggak salah sasaran. Cak YeBe bilang anak harus dilibatkan dalam edukasi, bukan cuma disweeping.

Kurang Sosialisasi: anggota DPRD Surabaya minta Satpol PP dan Bakesbangpol turun ke sekolah SD, SMP, SMA buat sosialisasi menyeluruh bareng lurah dan Kasi Trantib. Tapi, laporan Suara Surabaya (Juli 2025) bilang sosialisasi masih minim, bikin warga bingung.

Beban Orang Tua: Eri telepon orang tua, tapi banyak yang kerja malam atau nggak bisa ngawasin anak. Menurut BPS Jatim (2024), 10,3% keluarga Surabaya hidup di bawah garis kemiskinan, susah ikut pembinaan.

Kurangnya Alternatif: Kenapa nggak bikin kegiatan malam positif? Data Dinas Pemuda dan Olahraga Jatim (2023) bilang cuma 5% fasilitas olahraga di Surabaya buka malam.

Solusi Konstruktif

  • Ikuti saran DPRD Surabaya: bikin sweeping humanis dengan libatin anak dalam edukasi, misalnya forum remaja di sekolah.
  • Sosialisasi menyeluruh ke sekolah dan RT/RW, seperti diminta Cak YeBe, biar warga paham tujuan kebijakan.
  • Buka ruang kreatif malam, kayak kafe komunitas, lapangan futsal, atau turnamen esports.
  • Publikasi data evaluasi sweeping tiap bulan biar transparan.

Penutup: Bukan Cuma Sweeping Jam Malam 

Eri punya niat baik, tapi sweeping ini lebih bikin takut ketimbang solutif. Dan sweeping ini, kalau nggak humanis kayak saran anggota DPRD Surabaya, bisa bikin anak trauma ketimbang terlindungi.

Rek, Surabaya butuh wali kota yang kasih ruang buat anak muda, bukan cuma “nyapu” mereka dari jalanan. Eri, dengar suara mereka, dong! *