Krisis ini semakin diperparah dengan lemahnya fungsi jabatan Wakil Presiden. Secara teori, posisi ini memiliki potensi strategis sebagai katalisator koordinasi lintas sektor dan penyeimbang kekuasaan eksekutif. Namun dalam praktiknya, jabatan tersebut lebih sering tampil sebagai simbol kekuasaan belaka.
Dalam literatur representative leadership, James MacGregor Burns (1978) menekankan bahwa kepemimpinan sejati adalah relasi timbal balik antara pemimpin dan rakyat yang menghasilkan perubahan positif. Tanpa kemampuan, visi, dan rekam jejak, jabatan tinggi negara hanya menjadi ruang kosong yang tak menyentuh aspirasi publik.
Pertanyaan publik pun menguat: apa kontribusi Wakil Presiden dalam mengatasi pengangguran, memperbaiki sistem pendidikan, atau merespons krisis sosial-ekonomi? Di mana posisi moral dan politiknya saat masyarakat miskin kota dan desa tergusur oleh proyek-proyek investasi?
Jawaban atas pertanyaan ini membawa kita pada krisis yang lebih dalam: defisit kepemimpinan. Demokrasi prosedural mungkin tetap berlangsung, namun substansinya keropos.
Demokrasi tidak cukup hanya melalui pemilu, sebagaimana diingatkan oleh Larry Diamond (2008), “electoral democracy without liberal institutions is a façade.” Artinya, ketika mekanisme pemilu hanya menjadi alat legitimasi bagi elite, tanpa disertai akuntabilitas dan keterbukaan, maka demokrasi hanya tampak hidup di permukaan.
Indonesia tak kekurangan sumber daya atau krisis yang perlu diselesaikan. Yang kurang justru adalah keberanian moral dari mereka yang memegang jabatan publik untuk berpihak secara nyata kepada rakyat. Pemimpin dibutuhkan bukan untuk menjadi simbol, tetapi sebagai penggerak kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan.
Jika posisi Wakil Presiden hanya diwariskan dan bukan diperjuangkan melalui kompetensi, maka jabatan itu kehilangan legitimasi substantif. Ini bukan hanya krisis representasi, melainkan juga pengkhianatan terhadap demokrasi yang seharusnya tumbuh dari partisipasi dan integritas, bukan dari koneksi dan warisan kekuasaan.
Sudah saatnya masyarakat tidak lagi pasif. Republik ini tidak boleh dikelola dengan prinsip feodal, dan demokrasi bukanlah ladang pewarisan dinasti.
Kita membutuhkan pemimpin yang lahir dari kualitas, bukan silsilah. Sebab seperti dikatakan oleh Max Weber, “politik adalah panggilan dan profesi, bukan warisan keluarga.