DIAGRAMKOTA.COM – Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Hidayatulloh MSi, menyatakan dukungan penuhnya terhadap keputusan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang melarang perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) memberikan gelar guru besar kehormatan (honoris causa) secara sembarangan. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah tepat untuk menjaga integritas akademik di lingkungan kampus Muhammadiyah.
“Keputusan PP Muhammadiyah sudah sangat tepat. Gelar profesor itu adalah gelar akademik tertinggi dan tidak bisa diberikan begitu saja tanpa melalui proses yang sah secara akademik,” ujar Hidayatulloh kepada Diagramkota.com, Selasa, (15/04/2025).
Menurutnya, seorang dosen yang menyandang gelar profesor harus melewati jenjang jabatan fungsional secara bertahap, mulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga guru besar. Proses itu harus didukung dengan berbagai riset ilmiah, publikasi di jurnal bereputasi, serta kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Ia menyebutkan bahwa gelar profesor tidak hanya sekadar simbol kehormatan, melainkan bukti kemampuan akademik yang telah diuji secara ilmiah dan berkelanjutan.
Seminar Nasional di Umsida Bahas Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia
“Tidak mungkin seseorang bisa menyandang gelar profesor jika belum melalui proses panjang tersebut. Ini menyangkut reputasi dan martabat institusi perguruan tinggi,” tegasnya.
Sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Hidayatulloh juga menyoroti fenomena pemberian gelar kehormatan yang dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi lain di luar Muhammadiyah. Ia mengingatkan bahwa budaya akademik tidak boleh dikotori oleh kepentingan politik, ekonomi, atau popularitas.
Menurutnya, pemberian gelar profesor kehormatan tanpa dasar yang kuat justru akan menimbulkan kecurigaan publik terhadap integritas lembaga pendidikan tersebut. Ia menegaskan, kampus Muhammadiyah tidak boleh latah mengikuti praktik seperti itu.
“Bagi sebagian orang, mungkin pemberian gelar kehormatan bisa menaikkan popularitas kampus. Tapi bagi kalangan akademisi, justru itu bisa dianggap melemahkan marwah akademik jika tidak sesuai prosedur,” katanya.
Namun demikian, ia menjelaskan bahwa pemberian gelar doktor honoris causa memiliki ruang tersendiri. Gelar doktor kehormatan dapat diberikan kepada individu yang memiliki keahlian luar biasa dan kontribusi besar dalam suatu bidang, meskipun tidak memiliki latar belakang akademik formal hingga jenjang S3.
“Gelar doktor kehormatan bisa saja diberikan, misalnya kepada tokoh masyarakat, inovator, atau ilmuwan yang meskipun hanya lulusan S2, tetapi karyanya nyata dan berdampak luas. Tentunya harus sesuai dengan keilmuan dan program studi yang dimiliki oleh kampus,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemberian gelar doktor honoris causa juga tetap melalui mekanisme akademik yang ketat dan pertimbangan dari senat perguruan tinggi.
Dr Hidayatulloh juga memaparkan strategi yang dilakukan Umsida untuk menjaga integritas akademik. Pertama, pimpinan kampus harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai akademik. Kedua, kampus memiliki regulasi yang jelas terkait proses akademik, kenaikan jabatan fungsional dosen, dan tata kelola perguruan tinggi.
“Kalau ada pelanggaran kode etik, kami tindak tegas. Ini penting untuk menjaga wibawa lembaga,” imbuhnya.
Ketiga, lanjutnya, pimpinan kampus wajib memberikan dukungan kepada dosen dalam meningkatkan kualifikasi akademik, termasuk dalam proses pengajuan jabatan fungsional hingga ke jenjang profesor melalui jalur resmi.
Ia pun mengapresiasi Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Dikti Litbang) PP Muhammadiyah yang secara berkala melakukan konsolidasi dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan akademik di lingkungan PTM
“Majelis Dikti Litbang terus memastikan agar seluruh PTMA menjaga mutu dan tidak memberikan gelar kehormatan secara sembarangan, termasuk tidak memberikan gelar profesor honoris causa. Ini upaya serius menjaga kredibilitas kampus Muhammadiyah,” pungkasnya.(Dk/di)