Seminar Nasional di UMSIDA Sidoarjo, Prof. Sadjijono Soroti RKUHAP Versi Terbaru

HUKRIM516 Dilihat

DIAGRAMKOTA.COM – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) menggelar Seminar Nasional bertema pembaruan hukum acara pidana yang menghadirkan sejumlah narasumber ahli, di antaranya Prof. Dr.Sadjijono, S.H.,M.Hum. Prof. Dr. Sri Winarsih, S.H., M.H., Dr. Radian Salman, S.H., LL.M. Dr. Prawitra Thalib, S.H., M.H., ACIArb. serta Direktur LKBH UMSIDA, Dr. Rifqi Ridlo Phahlevi. S.H., M.H.Seminar yang berlangsung pada Senin (21/4/2025) tersebut secara khusus membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi terbaru yang tengah digodok pemerintah.

Prof Dr. Sadjijono saat diwawancarai oleh awak media.(Foto by : Achmad Adi)

Dalam pemaparannya, Prof. Sadjijono mengungkap hasil kajian terhadap tiga versi RKUHAP, yakni versi 2023, versi Februari 2025, dan versi terbaru per 3 Maret 2025. Ia menyebutkan bahwa masing-masing versi mengalami perubahan signifikan baik dari sisi struktur maupun subtansi. Perubahan itu menunjukkan dinamika yang mencerminkan adanya tarik ulur kepentingan dalam penyusunan undang-undang tersebut.

Salah satu sorotan utama adalah mengenai posisi kejaksaan dalam sistem peradilan pidana. Jika sebelumnya kejaksaan dikenal sebagai Dominus Litis atau penguasa perkara, maka dalam versi terbaru RKUHAP, peran tersebut tidak lagi tercermin secara eksplisit. Menurut Prof. Sadjijono, hilangnya peran dominan kejaksaan ini menandai perubahan paradigma dalam pengaturan peradilan pidana.

“Dalam rancangan ini, tampak kesan bahwa kejaksaan sebelumnya menjadi penguasa perkara. Itu dihilangkan,” ujar Prof. Sadjijono.

Ia juga menyoroti belum terimplementasikannya secara penuh prinsip Diferensiasi Fungsional (pemisahan tugas dan fungsi penyidik, penuntut, dan hakim) dalam versi sebelumnya, khususnya tahun 2023. Salah satu contoh konkretnya adalah dihapusnya mekanisme praperadilan, yang sebelumnya menjadi instrumen kontrol terhadap tindakan aparat penegak hukum.

“Tidak lagi menguji sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum (praperadilan). Tapi digantikan dengan adanya pemeriksaan pendahuluan,” jelasnya.

Namun demikian, dalam versi per 3 Maret 2025, mekanisme praperadilan dikembalikan. Kendati demikian, pengembalian ini tidak sepenuhnya menghapus kekhawatiran karena masih terdapat substansi yang menimbulkan perdebatan. Salah satunya adalah ketentuan bahwa putusan praperadilan terhadap upaya paksa tidak dapat diajukan banding, sedangkan untuk putusan penghentian penyidikan dan penuntutan tetap dapat dilakukan banding.

“Ini perlu menjadi perhatian. Ada ketimpangan dalam perlakuan hukum terhadap jenis putusan praperadilan. Mengapa satu bisa diajukan banding dan satu tidak, ini belum mencerminkan keadilan yang proporsional,” tegasnya.

Lebih jauh, Prof. Sadjijono menyampaikan bahwa rancangan RKUHAP yang ditargetkan mulai berlaku pada 1 Januari 2026 ini menyimpan banyak tantangan, terutama dari sisi implementasi di lapangan. Ia menilai bahwa keberhasilan pelaksanaan RKUHAP sangat bergantung pada pengawasan yang ketat dari lembaga independen dan partisipasi masyarakat.

“Saya khawatir akan munculnya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh aparat penegak hukum. Maka dari itu, perlu ada pengawasan yang sungguh-sungguh terhadap implementasi RKUHAP ini,” imbuhnya.

Dalam sesi diskusi, para narasumber lain seperti Dr. Radian Salman dan Dr. Prawitra Thalib juga menambahkan perspektif hukum progresif dalam melihat perubahan ini. Mereka sepakat bahwa revisi hukum acara pidana harus tetap menjamin perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa, serta menjunjung tinggi asas keadilan dan kepastian hukum.

Direktur LKBH UMSIDA, Rifqi Ridlo Phahlevi, turut menekankan pentingnya keterlibatan perguruan tinggi dalam proses sosialisasi dan pengawasan hukum. “Kampus punya peran besar dalam mendidik masyarakat hukum, mengkritisi produk hukum, serta mengawal implementasinya agar tidak menyimpang dari semangat reformasi hukum itu sendiri,” katanya.

Seminar nasional ini ditutup dengan rekomendasi dari para akademisi untuk pemerintah dan DPR agar lebih terbuka terhadap masukan publik dan akademisi dalam merumuskan kebijakan hukum pidana ke depan. Hal ini diharapkan mampu menciptakan sistem peradilan yang adil, transparan, dan akuntabel bagi seluruh warga negara.(Dk/di)

Share and Enjoy !