Diagram Kota Jakarta – Rupiah, mata uang resmi Indonesia, telah mengalami penurunan signifikan terhadap dolar AS dalam beberapa hari terakhir, mencapai level di atas Rp 16.400. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang dipimpin oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, telah melaporkan perkembangan nilai tukar rupiah kepada Presiden Joko Widodo.
Dalam konferensi pers di Istana Presiden Jakarta, Perry menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi pelemahan rupiah. Nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh dua faktor utama, faktor fundamental dan sentimen jangka pendek.
“Kami laporkan kepada bapak presiden mengenai perkembangan nilai tukar rupiah. Nilai tukar itu selalu dipengaruhi oleh 2 faktor, yakni faktor fundamental dan sentimen jangka pendek. Kalau dilihat dari faktor fundamental seharusnya nilai tukar rupiah kita itu akan menguat,” kata Perry dikutip ahbi.co.id, Senin (24/6/2024)
Lebih lanjut Perry menjelaskan, dari segi faktor fundamental, rupiah seharusnya menguat karena inflasi yang lebih rendah di 2,8%, pertumbuhan ekonomi yang tinggi 5,1%, kredit yang meningkat 12%, dan imbal hasil investasi yang baik.
Namun, faktor sentimen jangka pendek telah menekan rupiah karena pelaku pasar keuangan masih menganalisis kemungkinan penurunan suku bunga acuan The Federal Reserve. BI memproyeksikan bahwa penurunan suku bunga ini masih mungkin terjadi pada akhir tahun 2024.
Selain itu, faktor-faktor teknis juga dapat mempengaruhi nilai tukar jangka pendek. Sebagai contoh, ketegangan geopolitik di Timur Tengah pada Mei 2024 telah memicu ketegangan dan meningkatkan suku bunga.
Sebagai respons, BI meningkatkan suku bunga, yang mengakibatkan peningkatan nilai tukar rupiah dari Rp 16.600 menjadi Rp 15.600. Namun, penurunan rupiah saat ini menunjukkan adanya faktor global lainnya, seperti kenaikan suku bunga obligasi pemerintah AS dari 4,5% menjadi 6%, yang digunakan untuk membiayai utang di AS.
Faktor sentimen global di dalam negeri juga memberi pengaruh kuat terhadap penyebab pelemahan rupiah. Sebab pada kuartal II-2024 terjadi pelonjakan kebutuhan dollar AS di sektor korporasi untuk repatriasi hingga pembayaran dividen. Namun, pada kuartal III-2024, faktor sentimen ini diproyeksi tidak akan menyebabkan rupiah kembali melemah, karena kebutuhan dollar AS sudah berkurang.
“Kemudian, pengaruh dalam negeri yang berpengaruh kuat terhadap pelemahan rupiah adalah masalah persepsi pelaku pasar keuangan terhadap keberlanjutan fiskal ke depan, pada tahun 2025. Masalah persepsi sustainabilitas fiskal ke depan itu membuat sentimen kemudian menjadi tekanan nilai tukar rupiah,” ujar Perry.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, ia memastikan kepada Jokowi bahwa BI terus mengintervensi pasar. Misalnya, terkait dengan cadangan devisa yang masih sangat cukup, yaitu 139 miliar dollar AS—sebagai alat intervensi.
“Itu intervensi dari tunai, forward, maupun juga bagaimana terhadap stabilitas SBN (Surat Berharga Negara). Kami bisa beli SBN, dari pasar sekunder. Kami juga akan koordinasikan juga dengan Kemenkeu (Kementerian Keuangan), sekuritas kami rupiah untuk jangka pendek untuk menarik inflow. Supaya outflow tidak terus-terusan dan perkuat stabilitas rupiah,” ungkap Perry.
Secara simultan, aliran modal asing untuk menjaga pasokan dollar AS di dalam negeri pun dipastikan masih terjadi melalui pembelian di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang telah mencapai Rp 179,86 triliun. Kemudian, penempatan devisa hasil ekspor (DHE) di instrumen keuangan dalam negeri telah mencapai Rp 13,9 miliar.
“Kesimpulannya, rupiah secara fundamental trennya, jangan tanya hari per hari, ini tren. Rupiah trennya akan menguat, karena inflasi rendah, growth bagus, faktor fundamental itu bagus. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, minggu ke minggu faktor sentimen itu akan pengaruhi gerakannya,” tegas Perry.
Secara keseluruhan, kekuatan rupiah terletak pada faktor-faktor fundamental yang kuat, seperti inflasi yang lebih rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kredit yang meningkat, dan imbal hasil investasi yang baik. Namun, sentimen jangka pendek dan faktor-faktor teknis telah menekan nilai tukar rupiah, yang membutuhkan perhatian dan analisis lebih lanjut dari BI dan pelaku pasar keuangan. (dk/ria)