Komisi A Dorong Perubahan Kriteria Kemiskinan dalam Raperda Surabaya

“Ini merupakan tantangan bagi pemerintah Kota Surabaya, dan meminta agar proses penentuan status kemiskinan tidak hanya mengacu pada BPS, tetapi juga mengambil referensi dari lembaga seperti World Bank,” tutur Imam.

Mantan Pimpinan redaksi media elektronik ini juga menyoroti pentingnya pembaruan data kemiskinan secara berkala. Proses kemiskinan dapat terjadi sewaktu-waktu, seperti ketika kepala keluarga meninggal dunia, sakit, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yang menyebabkan kondisi keluarga jatuh dalam kemiskinan.

Terhadap hal ini, Imam mengingatkan bahwa memiliki aset seperti sepeda motor atau tinggal di rumah dari hasil peninggalan tidak boleh menjadi faktor utama dalam menentukan status kemiskinan.

Disisi lain, Imam juga menyoroti metode perhitungan Upah Minimum Kota (UMK) yang menggunakan koefisien konsumsi.

Ia berpendapat bahwa, penentuan status kemiskinan seharusnya lebih didasarkan pada pendapatan dan pengeluaran tetap. Jika pendapatan tetap tidak mencukupi, maka dapat dikategorikan sebagai miskin.

Imam kembali menegaskan pentingnya pengawalan terhadap pelaksanaan peraturan daerah ini.

“Kedepan Perda mengenai percepatan pengentasan kemiskinan ini harus dapat memberikan payung hukum untuk meningkatkan alokasi anggaran yang diperlukan. Selain itu, pentingnya evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan benar-benar efektif,” tegas Imam Syafi’i.

“Pemerintah Kota Surabaya diharapkan menerima masukan dan kritik yang membangun dalam rangka meningkatkan upaya pengentasan kemiskinan, dan perda baru ini akan memberikan dampak yang nyata dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Kota Surabaya,” pungkasnya. (dk/nw)