Pengajuan Utang 452 Milyar Masuk RKUA – PPAS , Agoeng Prasodjo : Cerminan Kepanikan Fiskal Pemkot Surabaya

DIAGRAMKOTA.COM – Rencana Pemerintah Kota Surabaya mengajukan pinjaman daerah sebesar Rp 452 miliar masuk dalam pembahasan Rancangan KUA PPAS 2025 membuat Kaget Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Surabaya.

Salah satu anggota Banggar DPRD Surabaya, Agoeng Prasodjo, menilai langkah ini sebagai indikasi munculnya kepanikan fiskal di internal Pemkot, menyusul berkurangnya dana transfer Opsen pajak kendaraan bermotor dari provinsi Jawa Timur (Jatim).

“Yang harusnya dapat Surabaya dapat Rp1,6 triliun, tapi hanya dikasih Rp1 triliun. Artinya ada kekurangan sekitar 600 miliar, dan itu yang bikin kelimpungan,” ungkap Agoeng saat diwawancarai usai rapat Banggar pada Selasa (22/07) dengan agenda mendengarkan pendapat ahli.

Agoeng menyebut, kekurangan dana sekitar Rp600 miliar  itu bukan alasan untuk mengambil langkah tanpa evaluasi.

“Kalau Pemprov kasih Rp1 triliun dari yang seharusnya Rp1,6 triliun, ya kita hitung ulang belanja, prioritaskan yang mendesak, bukan malah buru-buru ngutang,” jelasnya.

Agoeng menegaskan, respons cepat Pemkot yang langsung mengusulkan utang justru menunjukkan kurangnya perencanaan dan ketahanan fiskal. Bagi Agoeng, langkah Pemkot tidak proporsional karena tanpa didahului pemetaan ulang belanja prioritas dan optimalisasi aset.

“Kalau memang defisit, ya evaluasi dulu belanjanya. Kurangi yang tidak mendesak. Lalu coba gali potensi pendapatan dari aset” tegasnya.

Ia juga menyoroti absennya rencana utang dalam dokumen KUA-PPAS 2025. “Ini yang membuat kami kaget. Tidak pernah dibicarakan di awal, tahu-tahu muncul dalam pembahasan PAK” katanya.

Ia juga menilai pengajuan pembiayaan aleternatif dalam PAK merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Saya 11 tahun di Banggar, baru tahun ini lihat utang muncul di PAK. Padahal di KUA-PPAS tidak ada. Ini bukan cara yang sehat dalam perencanaan,” tegasnya.

Karena itu, ia menyarankan agar Pemkot lebih fokus membenahi tata kelola aset ketimbang langsung mengandalkan skema pembiayaan. Menurutnya, jika aset bekerja maksimal, kota tak perlu mengandalkan utang untuk menutup defisit.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa skema pembiayaan ini bertentangan dengan RPJMD yang berlaku, karena ruang pembiayaan melalui pinjaman baru dibuka pada 2026.

“Kalau dipaksakan sekarang, ya ini bisa disebut sebagai keputusan yang panik. Pemerintah ingin tetap menggenjot pembangunan, padahal fiskalnya tidak siap,” ujarnya.

Pemkot kata Agoeng semestinya lebih berhati-hati. Dirinya pun menegaskan jika Banggar saat ini membentuk beberapa tim untuk konsultasi ke Kemendagri, Kemenkeu, hingga KPK.

“Tujuannya, memastikan keputusan terkait pembiayaan ini tidak menimbulkan dampak hukum di kemudian hari. Lebih baik tunda daripada meninggalkan masalah,” pungkasnya.