Peran Akademisi dan Diaspora dalam Menghadapi Kerusuhan di Indonesia
DIAGRAMKOTA.COM – Kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya telah memicu respons dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri. Mereka memberikan suara melalui diskusi yang diadakan di Jakarta pada Kamis (4/9), dengan Forum Warga Negara menjadi tempat untuk menyampaikan pandangan mereka.
Salah satu isu utama yang dibahas adalah pentingnya pembentukan Tim Pencari Fakta Independen. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menginvestigasi pelanggaran dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga terjadi selama kerusuhan. Dosen senior School of Population Health, Fakultas Kedokteran UNSW Sydney, Anthony Paulo Sunjaya, menyatakan bahwa diaspora Indonesia di Australia prihatin terhadap situasi yang sedang berlangsung. Mereka menuntut pemerintah mengambil tindakan yang dapat menjawab ketidakpuasan masyarakat.
Anthony bersama dengan para diaspora lain di Australia mendesak pemerintah membentuk Tim Pencari Fakta Independen. Tujuan dari tim ini adalah untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam berbagai kerusuhan di Indonesia. Mereka juga menekankan perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap semua pihak yang bersalah.
”Di atas itu semua, yang jauh lebih penting adalah, reaksinya jangan hanya bersifat reaktif, tapi harus substansial, menyentuh akar masalah,” ungkap Anthony. Menurutnya, tidak sedikit diaspora Indonesia di Australia menyuarakan pandangannya terhadap kondisi dan situasi di Jakarta. Karena itu muncul beberapa gerakan seperti Canberra Bergerak. Bahkan mahasiswa di Australia tidak segan menegur salah seorang anggota DPR yang kedapatan tengah berada di Australia saat gelombang aksi demo terus terjadi. Gerakan yang mirip juga muncul di Jepang.
”Masa rakyat harus ada yang mati terlebih dulu agar didengar. Maka, teruslah berisik agar didengar,” kata Avina Nadhila, mahasiswi S3 Australian National University yang turut serta dalam diskusi daring dan luring tersebut.
Jurnalis senior Budiman Tanuredjo yang juga hadir bersama putri bungsu proklamator Mohammad Hatta, Halida Nuriah Hatta, menyoroti disfungsi instrumen demokrasi. Menurut dia, dalam aksi massa pada 25 dan 28 Agustus lalu, hampir semua aparatus demokrasi di Indonesia berdiam diri. Bahkan dia menilai, sampai 30 Agustus masih tampak kebingungan elite untuk bersikap.
Sampai akhirnya muncul 17+8 Tuntutan Rakyat, Gerakan Nurani Bangsa, Change.org, Forum Warga Negara, dan hal lain yang menyuarakan hal yang kurang lebih sama. Menurut Budiman semua tuntutan tersebut harus bisa dikonsolidasi serapi mungkin. Penyelesaiannya tidak boleh sporadis, melainkan harus mengutamakan dan menyentuh akar masalah.
”Perlu dibentuk tim atau semacam ‘komite reformasi’ independen. Isinya adalah orang-orang yang integritasnya bereputasi tinggi agar punya otoritas kuat dalam mengawal semua tuntutan, mereformasi semua lini pengurus negara, sambil juga mengerjakan semacam tim pencari fakta,” terang dia.
Shofwan Al Banna Choiruzzad, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa ini adalah momentum yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Momentum tersebut harusnya ditangkap sebagai wake up call secara struktural dan sistematis untuk melakukan perbaikan institusional.
”Selain rugi, kita jadi lebih rentan terimbas guncangan-guncangan internasional yang pasti akan terjadi (jika momentum itu dilewatkan), kita jadi minim daya tahan kolektif,” jelasnya.