DIAGRAMKOTA.COM – Layanan bus Trans Jatim Koridor VII yang dikelola Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim tengah menjadi polemik di masyarakat.
Disebutkan bahwa rencananya layanan tersebut akan melayani rute Sidoarjo-Surabaya melalui jalur Krembung, Krian (Sidoarjo), melewati Legundi dan Driyorejo (Gresik), lalu ke Karangpilang (Surabaya), kemudian masuk ke Terminal Intermoda Joyoboyo (TIJ), Surabaya. Saat ini, koridor itu direncanakan dialihkan ke Lamongan oleh Dishub Jatim.
Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan, berharap pengembangan transportasi umum di Surabaya diatur secara terintegrasi dengan desain besar yang telah disiapkan dan mulai dijalankan oleh Dishub Surabaya. Eri Irawan membeberkan tiga aspek utama terkait polemik Trans Jatim Koridor VII tersebut.
Pertama, soal polemik bahwa Trans Jatim ditolak masuk ke TIJ. Menurut Eri Irawan, langkah yang dilakukan Pemkot Surabaya sudah tepat karena mengintegrasikan secara intermoda terhadap semua sarana transportasi yang ada. Trans Jatim Koridor VII sebagai bus antarkota diharapkan berhenti di titik batas kota, dalam hal ini Karangpilang, lalu Dishub Surabaya akan menyiapkan feeder perintis untuk melayani rute tersebut.
”Artinya, sebenarnya ada solusi dalam proses. Jadi jangan dibilang seolah Surabaya menolak, toh sudah diberi solusi. Dan selama ini kan integrasi intermoda antara Trans Jatim dan transportasi umum di Surabaya sudah berjalan. Trans Jatim berhenti di beberapa halte di Surabaya, dan rute feeder maupun trunk di Surabaya juga melayani halte-halte tersebut, sehingga saling mengisi,” jelas Eri Irawan.
Kedua, dalam situasi keterbatasan sumberdaya yang sama-sama dihadapi Dishub Jatim dan Dishub Surabaya dalam menumbuhkan transportasi umum, pengembangan rute perlu memperhatikan pola bangkitan dengan pemodelan yang memperkirakan jumlah perjalanan/pergerakan dari atau menuju wilayah yang dilayani.
Hal ini juga perlu dikaitkan dengan waktu tempuh, di mana rute koridor yang dipolemikkan tersebut hingga tiba di Karangpilang (Surabaya) diprediksi lebih dari 3 jam dengan pola bangkitan yang belum optimal. Dari aspek pembiayaan, hal itu menjadi tidak efektif karena secara bangkitan tidak mengangkut pergerakan yang maksimal.
“Yang saya dengar, hal itu menjadi salah satu pendorong sehingga rute itu kemudian digeser, yaitu tetap dalam skema Gerbangkertasusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan), namun diarahkan ke Lamongan. Nah kalau alasan mendasarnya adalah pola bangkitan lalu waktu tempuh hingga variabel kemacetan, maka jangan kemudian Surabaya dikambinghitamkan dengan seolah-olah rute ini batal karena ditolak Surabaya,” tegas Eri.
Ketiga, pengembangan transportasi umum membutuhkan koordinasi yang baik antar-instansi pemerintah, mulai dari kementerian, lembaga, dan antar-pemda. “Komunikasi yang baik menjadi kunci. Diintegrasikan semuanya. Dikomunikasikan optimal. Kita butuh energi besar dan kolaborasi untuk mengembangkan transportasi umum. Jadi jangan mensimplifikasi masalah hanya dengan melempar isu bahwa rute batal karena tidak bisa masuk Terminal Joyoboyo,” ujar Eri Irawan.
Berdasarkan hal tersebut, lanjut Eri, untuk pembukaan rute dan skema integrasi intermoda antara Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya perlu bersama-sama melakukan mitigasi agar moda transportasi yang dikembangkan benar-benar tepat sasaran.