DIAGRAMKOTA.COM – Dalam bulan Suro penanggalan Jawa, warga Desa Prasung, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, melaksanakan tradisi tahunan Ngerumat Tetenger sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur.
Kegiatan ini berupa Membersihkan makam, Penggantian kain kafan batu nisan, serta doa bersama yang menjadi bagian dari pelestarian budaya dan spiritual masyarakat.
Ngerumat Tetenger adalah tradisi membersihkan dan merawat makam para leluhur, termasuk mengganti kain pembungkus batu nisan milik leluhur Des prasung Mbah Sholeh serta menyuguhkan tumpeng dan gunungan.
Salah satu makam utama yang menjadi pusat kegiatan adalah makam Mbah Sholeh, tokoh leluhur Desa Prasung, bersama empat makam lainnya yang dianggap keramat oleh warga setempat.
Acara ini diikuti oleh seluruh elemen masyarakat, mulai dari warga, tokoh masyarakat, pemerintah desa, hingga pihak kecamatan.
Hadir dalam prosesi tersebut Camat Buduran dan Kepala Desa Prasung. Bahrul Amig, selaku tokoh masyarakat Desa Prasung, menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan hanya acara seremonial, tetapi juga menjadi sarana membangun kesadaran kolektif warga terhadap sejarah dan jati diri desa.
“Tradisi ini punya dimensi budaya dan spiritual. Budaya, karena kita ini berasal dari cikal bakal atau masyarakat endogenus yang harus menjaga akar. Spiritual, karena manusia harus sadar bahwa hidupnya ada batas, dan kita wajib menghormati yang telah mendahului,” terang Bahrul Amig, tokoh masyarakat Desa Prasung, Minggu (13/07/2025).
Tradisi ini digelar pada awal bulan Suro di empat titik makam leluhur yang tersebar di wilayah Desa Prasung. Prosesi diawali di Balai Desa Prasung dengan seremoni penyerahan kain kafan, lalu dilanjutkan ke lokasi makam.
Menurut Bahrul Amig, kegiatan ini mendorong warga untuk tidak melupakan leluhurnya dan menumbuhkan rasa kepemilikan atas warisan budaya desa.
Selain menjadikan makam lebih terawat, tradisi ini juga membangkitkan kembali semangat ziarah dan penghormatan kepada pendahulu.
Setelah pengarahan dari Camat Buduran dan Kepala Desa, prosesi dilanjutkan dengan pembagian kain kafan untuk mengganti pembungkus batu nisan, pembersihan makam secara gotong royong, serta doa dan pembacaan tahlil di setiap titik makam. Tumpeng dan gunungan disediakan sebagai simbol syukur dan penghormatan.
Tradisi ini telah membentuk kekuatan sosial berbasis budaya, memperkuat gotong royong, dan menumbuhkan rasa hormat lintas generasi. Bahrul Amig menyebut bahwa Ngerumat Tetenger kini bukan lagi hanya program desa, tetapi telah menjadi “hajat hidup bersama” masyarakat Prasung.(DK/ais)