Penerimaan Siswa Baru SMPN Sidoarjo Dikecam: Titipan Pejabat Diakomodir, Warga Tak Mampu Tersingkir!

DIAGRAMKOTA.COM — Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Kabupaten Sidoarjo kembali diguncang isu ketidakadilan dan praktik titipan yang semakin terang-terangan. Di bawah kendali Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo yang dipimpin oleh Tirto Adi, sistem penerimaan siswa SMP Negeri kini dinilai semakin sarat kecurangan dan kolusi.

Kemarahan publik bukan tanpa sebab. Di lapangan, praktik “jalur belakang” kian kentara, sementara anak-anak dari keluarga tidak mampu justru tersingkir meski memiliki nilai dan prestasi yang layak. Salah satu contoh nyata terjadi di SMPN 2 Tulangan.

Saat dikonfirmasi, panitia pendaftaran SMPN 2 Tulangan menyatakan bahwa jumlah pendaftar secara daring (online) pada pagi hari hanya 192 siswa. Namun saat proses daftar ulang pada 1 Juli 2025, jumlah siswa yang diterima melonjak menjadi 216 siswa. Ada selisih 24 siswa yang tidak tercatat dalam pendaftaran online, dan kini dipertanyakan asal-usul jalurnya.

“Kami mempertanyakan secara terbuka, dari mana jalur tambahan 24 siswa itu? Apakah ada jalur khusus yang tidak diumumkan ke publik? Ini mencurigakan,” tegas Ketua DPC PWDPI Kabupaten Sidoarjo saat ditemui di sela-sela pengawasan SPMB.

Keganjilan tak berhenti di satu sekolah. Dari total pagu resmi yang diumumkan secara terbuka di semua SMP Negeri di Sidoarjo, jumlah kuota hanya 5.937 siswa. Namun, berdasarkan data yang dihimpun dari proses daftar ulang di berbagai sekolah, ternyata jumlah siswa yang diterima melonjak menjadi 6.575 siswa—selisih 638 siswa dari data pagu resmi!

Selisih inilah yang menguatkan dugaan praktik kotor dalam proses penerimaan. Jika benar terdapat praktik suap atau gratifikasi senilai Rp1 juta per siswa, maka potensi nilai transaksionalnya bisa mencapai Rp638 juta rupiah.

“Ini bukan lagi isu, tapi mulai menjadi dugaan rasional. Jika benar ada permainan, siapa yang bertanggung jawab atas perampasan hak anak-anak miskin untuk mendapat pendidikan yang adil?” tambah Ketua DPC PWDPI dengan nada geram.

Situasi ini memperparah krisis kepercayaan publik terhadap Dinas Pendidikan Sidoarjo. Sebaliknya, Kepala Dinas Tirto Adi hingga kini belum memberikan pernyataan resmi atau langkah konkret dalam menanggapi berbagai kejanggalan ini.

Sementara itu, warga terus bersuara. Seorang tukang ojek online menceritakan bahwa anaknya yang berprestasi tidak diterima, sementara anak tetangganya yang “biasa-biasa saja” bisa masuk karena dibawa oleh anggota dewan. “Kami tidak sanggup bayar jalur belakang,” ujarnya getir.

Ketidakadilan sistemik ini menjadi tamparan keras terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara wajib menyediakannya tanpa diskriminasi.

Saat rakyat kecil hanya bisa berharap pada kejujuran sistem, justru para penguasa bermain dalam kegelapan, memperdagangkan bangku pendidikan negeri seakan itu warisan pribadi.

Jika temuan ini terus dibiarkan tanpa penyelidikan independen, maka sudah selayaknya masyarakat bergerak. Dugaan penyalahgunaan jabatan dan potensi suap dalam penerimaan murid dapat dijerat dengan UU Tipikor, dan menjadi dasar untuk gugatan class action maupun pelaporan ke Ombudsman RI, KPK, hingga Komnas HAM.

Kini saatnya rakyat bersuara: Hentikan praktik titipan! Bongkar permainan gelap dalam SPMB! Pendidikan bukan milik pejabat—tapi hak seluruh anak bangsa.
(dk/tgh)