DIAGRAMKOTA.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memutuskan pemisahan pemilu nasional dan daerah mengundang respons beragam dari berbagai elemen masyarakat. Di Sidoarjo, Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas) menginisiasi diskusi publik pada Senin malam (14/7/2025), menghadirkan sejumlah tokoh penting untuk membedah dampak kebijakan ini terhadap kontestasi politik lokal.
Diskusi yang digelar di tengah iklim politik pasca-Pemilu 2024 itu menghadirkan tiga narasumber utama: Komisioner KPU Sidoarjo Haidar Munjid, Ketua Bawaslu Sidoarjo Agung Nugraha, serta pengamat politik lokal Nanang Haromain.
Ketiganya mengelaborasi potensi perubahan besar yang akan terjadi pada dinamika pemilu di tingkat daerah, khususnya menjelang Pilkada 2031. Nanang Haromain menilai, pemisahan ini justru membuka ruang lebih besar bagi pemilu lokal untuk tampil ke permukaan dan tidak lagi tenggelam oleh dominasi pemilu nasional.
Ia menyebut, muncul peluang baru di mana calon anggota legislatif lokal bisa saling menguatkan elektabilitas bersama calon kepala daerah. Fenomena ini diperkirakan akan mengubah cara kerja politik akar rumput yang selama ini tersegmentasi.
Sementara itu, Haidar Munjid menekankan bahwa sebagai lembaga teknis, KPU akan mematuhi semua aturan hukum yang berlaku. Ia menjelaskan, perpanjangan masa jabatan kepala daerah hingga dua tahun sebagai akibat pemisahan jadwal pemilu merupakan konsekuensi hukum yang sah.
Ia juga menegaskan bahwa Sidoarjo memiliki rekam jejak baik dalam penyelenggaraan pemilu yang tertib dan kondusif. Ia optimistis stabilitas ini akan tetap terjaga, sekalipun jadwal dan mekanisme pemilu mengalami penyesuaian.
Berbeda dengan keduanya, Agung Nugraha dari Bawaslu menyoroti sisi kritis dari keputusan MK tersebut. Ia melihat peluang penguatan dominasi partai-partai besar dan semakin terbukanya ruang intervensi kekuasaan, terutama dalam konteks penunjukan Penjabat (Pj) kepala daerah.
Menurutnya, pemisahan ini tidak serta-merta memperbaiki kualitas demokrasi lokal jika persoalan mendasar seperti netralitas birokrasi dan lemahnya institusi partai tidak dibenahi.
Kekhawatiran serupa juga muncul dari peserta diskusi yang aktif menyampaikan pandangan. Beberapa di antaranya menyoroti potensi ketimpangan kekuasaan yang bisa muncul dari kontrol pusat terhadap jabatan sementara di daerah menjelang pilkada.
Hingga menjelang tengah malam, diskusi berlangsung dinamis dan hangat, menandai tingginya perhatian publik terhadap masa depan demokrasi lokal pasca-putusan MK ini.(DK/di)