Lebaran Kupat: Tradisi Silaturahmi dan Makna Mendalam Setelah Idul Fitri

SERBA-SERBI662 Dilihat

DIAGRAMKOTA.COM – Saat gema takbir Idul Fitri mulai mereda dan suasana Lebaran mulai tenang, sebagian masyarakat Indonesia justru bersiap merayakan momen penting lainnya: Lebaran Kupat. Tradisi yang kental di berbagai daerah, terutama di Jawa dan Madura, ini bukan sekadar ajang makan ketupat bersama, melainkan perwujudan nilai silaturahmi, tobat, dan kerendahan hati.

Dari Kupat Menjadi Simbol

Kupat atau ketupat bukanlah sekadar sajian khas Lebaran. Di balik anyaman daun janur dan beras yang pulen tersimpan filosofi dalam. Dalam budaya Jawa, “kupat” adalah singkatan dari “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat tindakan spiritual: lebaran, luberan, leburan, dan laburan).

“Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan kepada sesama. Tradisi ini meneguhkan semangat untuk saling memaafkan, melanjutkan Lebaran dengan hati bersih,” ujar Budayawan asal Solo, Ki Jatmiko.

Dari Rumah ke Rumah, Mengikat Ulang Silaturahmi

Lebaran Kupat biasanya digelar seminggu setelah Idul Fitri, pada hari ke-7 bulan Syawal. Masyarakat akan berkumpul bersama keluarga, tetangga, hingga sesepuh desa dalam sebuah acara makan bersama ketupat dan lauk khas seperti opor ayam, sambal goreng ati, atau sayur labu.

Tak jarang, kegiatan ini dilanjutkan dengan berkeliling kampung, menyambangi kerabat dan handai taulan yang belum sempat ditemui saat Lebaran. Tradisi ini sekaligus menjadi momentum penting untuk mempererat tali persaudaraan yang mungkin sempat renggang.

“Di kampung kami di Madura, Lebaran Kupat lebih ramai dari hari H Lebaran. Semua warga keluar rumah, anak-anak pakai baju baru, dan kami membawa ketupat serta lauk ke rumah saudara,” tutur Nur Salimah, warga Bangkalan.

Tradisi yang Bertahan di Tengah Zaman

Di era modern dan serba cepat seperti sekarang, Lebaran Kupat tetap menjadi pengingat bahwa perayaan bukan hanya tentang pakaian baru atau makanan lezat. Ini adalah momen untuk menundukkan ego, membangun kembali hubungan, dan menyucikan hati.

Tak hanya di pedesaan, beberapa kota besar seperti Surabaya, Semarang, hingga Jakarta masih merawat tradisi ini, bahkan menjadikannya sebagai agenda budaya tahunan.

“Tradisi Lebaran Kupat harus kita rawat bersama, karena ia adalah warisan budaya yang memuat nilai luhur bangsa. Ini bukan sekadar makan ketupat, tapi perayaan spiritualitas dan kebersamaan,” ujar Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yuniar Rachmawati.

Lebaran Kedua yang Tak Kalah Istimewa

Bagi sebagian masyarakat, Lebaran Kupat adalah ‘lebaran kedua’ yang lebih santai, lebih akrab, dan penuh makna. Di tengah kesibukan modern dan arus mudik yang sudah kembali surut, Lebaran Kupat menjadi momen untuk benar-benar hadir dalam perjumpaan, tanpa tergesa, tanpa tekanan.

Dan pada akhirnya, sehelai daun janur yang dianyam menjadi kupat, menyimpan pesan luhur: kesederhanaan, ketulusan, dan harapan akan hari-hari yang lebih damai. (dk/nw)

📌 Catatan Redaksi:

Lebaran Kupat bukan hanya tradisi, tapi juga identitas kebudayaan yang perlu dijaga dan diwariskan. Di manapun Anda berada, mari rayakan dengan penuh suka cita, sambil menjaga silaturahmi dan semangat kebersamaan.

Share and Enjoy !