Saat Budaya Bertemu Teknologi, Desainer Muda UC Menjawab Tantangan GenAI
- account_circle Shinta ms
- calendar_month Sel, 11 Nov 2025
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM- Di tengah derasnya arus teknologi Generative Artificial Intelligence (GenAI) yang merambah industri kreatif dunia, Universitas Ciputra (UC) Surabaya memilih untuk melangkah berbeda bukan sekadar mengejar kecanggihan mesin, tetapi mengembalikan kesadaran akan makna dan identitas di balik setiap karya desain.
Pertanyaan reflektif pun dilontarkan: Siapa yang sebenarnya mengendalikan desain manusia atau mesin?”
Pertanyaan itu menjadi pembuka dalam diskusi bertajuk The Role of Your Design Positionality and Pluriversality in the Era of GenAI, yang digelar oleh School of Creative Industry (SCI) UC.
Diskusi ini menghadirkan Dr. Fanny Suhendra, Academic Director of Partnerships, School of Design and Architecture, Swinburne University of Technology Australia.
Kehadiran delegasi Swinburne juga menandai dimulainya inisiasi kerja sama double degree antara School of Design and Architecture Swinburne dengan School of Creative Industry UC.
Kegiatan tersebut diikuti oleh mahasiswa dari tiga program studi Visual Communication Design (VCD), Architecture (ARS), dan Fashion Design and Business (FDB). Mereka diajak memahami dua konsep penting dalam dunia desain kontemporer design positionality dan pluriversality.
Dua konsep ini mengajarkan bahwa di tengah laju dominasi AI, seorang desainer harus paham posisi dirinya, nilai yang dipegang, dan konteks budaya yang membentuknya.
Dean of SCI UC, Dr. Susan, menegaskan bahwa kecepatan dan kemampuan AI dalam memproduksi visual bukan berarti teknologi itu bisa menggantikan pemahaman sosial dan budaya manusia.
“AI bisa menggambar lebih cepat, tapi belum tentu memahami konteks sosial dan budaya di balik desain. Di sinilah pentingnya positionality agar desainer muda tahu dari mana ia berpikir, nilai apa yang dibawa, dan siapa yang diwakili karyanya,” ujarnya.
Menurut Susan, pendekatan pluriversality juga menjadi kunci untuk melawan homogenisasi estetika global yang dibawa AI dengan menghadirkan keberagaman perspektif dan akar budaya, termasuk nilai-nilai lokal Nusantara.
Data World Economic Forum (2024) menunjukkan, sekitar 60% pekerjaan di industri kreatif global kini bersentuhan langsung dengan AI, sementara laporan McKinsey (2023) menyebut lebih dari 40% desainer muda sudah menggunakan generative tools seperti Midjourney atau ChatGPT dalam proses ideasi visual.
Namun, hanya 12% desainer di Asia Tenggara yang mempertimbangkan konteks etika atau budaya saat menggunakannya.
Fakta itu menjadi alarm penting: di tengah euforia teknologi, masih sedikit yang memastikan kreativitas tetap berpijak pada nilai dan kearifan lokal.
“Kami ingin mahasiswa tidak hanya mahir menggunakan AI, tapi juga paham tanggung jawab sosial di balik karya mereka. Dengan positionality dan pluriversality, mereka belajar bahwa desain adalah dialog antara manusia, budaya, dan teknologi,” kata Susan.
Lebih jauh, Susan menekankan bahwa isu ini melampaui urusan desain semata.
“AI memang bisa menghasilkan bentuk, tapi hanya manusia yang bisa memberi makna,” tambahnya.
Melalui pendekatan ini, UC ingin memastikan bahwa generasi muda Indonesia tidak hanya menjadi pengguna AI, tetapi juga pencipta narasi baru yang berpijak pada nilai-nilai budaya sendiri.
Mereka bukan hanya kreator teknologis, tetapi juga pemikir kritis yang menjaga nilai kemanusiaan dan identitas bangsa.
Dalam konteks ini, Surabaya bukan sekadar kota inovasi, tetapi juga panggung tempat budaya dan teknologi berdialog agar kreativitas masa depan tidak kehilangan ruh lokal di tengah kilau digital.(sms)
- Penulis: Shinta ms




