DIAGRAMKOTA.COM – Gelombang aksi damai bertajuk Akselerasi Budaya Sidoarjo (Aksi Selaras dan Aspirasi Budaya) berlanjut hingga ke Pendopo Kabupaten Sidoarjo, Selasa Kliwon, 22 Juli 2025. Usai menyuarakan tuntutan di depan Gedung DPRD, ratusan pelaku budaya dan seniman bergerak menuju pusat pemerintahan daerah untuk melanjutkan penyampaian aspirasi.
Aksi ini disambut langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sidoarjo, Dr. Fenny Apridawati, S.Km, M.Kes, didampingi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Tirto Adi, M.Pd, Kepala Bidang Kebudayaan, Kartini, M.Pd, perwakilan dari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora) serta Kasatpol PP.
Dalam suasana terbuka dan penuh dialog, perwakilan massa menyampaikan kembali aspirasi yang sebelumnya telah diajukan di DPRD. Sekda Fenny menyampaikan bahwa pemerintah daerah pada dasarnya mengapresiasi semangat pelaku budaya dan berkomitmen untuk mengakomodasi aspirasi, meski tetap harus melalui prosedur formal yang berlaku.
Terkait pembangunan Gedung Kesenian dan Budaya, Sekda membenarkan bahwa upaya tersebut telah digagas sejak beberapa tahun lalu. Namun realisasinya terkendala alih fungsi gedung yang telah dibangun menjadi Gedung Wanita dan Mal Pelayanan Publik (MPP). Pernyataan ini senada dengan keterangan dari anggota DPRD sebelumnya.
Untuk Nomor Induk Kelompok Kesenian, Sekda menyatakan bahwa kelompok seni bisa mengurusnya melalui sistem OSS (Online Single Submission) asal memiliki legalitas sebagai perkumpulan. Namun pernyataan ini langsung dibantah oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Tirto Adi, yang menegaskan bahwa hingga saat ini proses tersebut masih dilakukan secara manual di bawah kewenangan dinasnya, belum terintegrasi secara online.
Mengenai pelestarian situs budaya dan punden, Sekda menjelaskan bahwa anggaran pelestarian sudah disalurkan kepada setiap desa. Artinya, desa memiliki kewenangan dan sumber dana untuk merawat punden dan situs bersejarah lainnya sebagai bagian dari pelestarian budaya lokal.
Dalam sesi dialog tersebut, perwakilan budayawan juga mengangkat isu penting terkait penggunaan EO (Event Organizer) dalam kegiatan kebudayaan Pemkab Sidoarjo. Mereka menyuarakan keprihatinan terkait penggunaan EO yang dinilai tidak kredibel dan tidak memiliki legalitas yang jelas. Bahkan muncul dugaan bahwa EO tersebut difasilitasi oleh oknum pejabat atau instansi tertentu.
Menanggapi hal ini, Kartini, M.Pd selaku Kabid Kebudayaan, membantah adanya praktik semacam itu. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak berani menggunakan anggaran APBD tanpa prosedur dan verifikasi hukum yang benar, karena menyangkut pertanggungjawaban anggaran dan hukum. Ia meminta agar dugaan tersebut dilengkapi bukti konkret dan disalurkan melalui mekanisme yang tepat.
Menanggapi dinamika tersebut, Ketua DPC PWDPI Sidoarjo, Agus Subakti, ST yang hadir sebagai perwakilan organisasi pers, menyampaikan bahwa pihaknya telah mencatat seluruh pernyataan baik dari massa aksi maupun dari pihak Pemkab.
“Kami dari DPC PWDPI Sidoarjo akan melakukan pendalaman dan investigasi lanjutan atas berbagai hal yang disampaikan dalam aksi ini. Sebab tugas kami bukan hanya sebagai penyebar informasi, tapi juga sebagai kontrol sosial. Kami akan terus mengawal, mengamati dan menyampaikan semua yang terjadi sebagai bentuk laporan kepada publik, khususnya masyarakat Sidoarjo,” ujarnya di hadapan para peserta usai pertemuan dengan pejabat pemkab.
Dengan diterimanya massa aksi secara resmi oleh legislatif maupun eksekutif, gerakan Akselerasi Budaya Sidoarjo ini dinilai menjadi babak penting dalam upaya menyatukan kembali semangat budaya dengan arah pembangunan daerah. Para budayawan berharap pertemuan ini bukan hanya seremonial, tetapi menjadi tonggak awal penyusunan kebijakan budaya yang berkeadilan dan berkelanjutan di Kabupaten Sidoarjo.
Bumi Jenggolo telah bersuara melalui para pewaris budayanya. Kini saatnya pemerintah menanggapi dengan langkah nyata.
Aksi damai ini bukan hanya menjadi simbol kebangkitan kesadaran budaya di Sidoarjo, tetapi juga menjadi ruang penting untuk transparansi, akuntabilitas, dan sinergi antara rakyat dan pemerintah daerah. Para budayawan berharap aksi ini menjadi tonggak awal arah kebijakan kebudayaan yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Jenggolo.
(dk/tgh)