Di Kota Pahlawan, tempat Bung Karno dilahirkan, semangat itu diwujudkan melalui penguatan ketahanan pangan, sebuah cita-cita yang pernah disuarakan Bung Karno sebagai “hidup matinya sebuah bangsa”.
Ketua DPRD Kota Surabaya, Adi Sutarwijono, menegaskan kembali relevansi pemikiran Bung Karno di masa kini. Menurutnya, Juni memiliki tiga makna historis yang mendalam, yakni Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945, di mana Bung Karno menggali dasar negara; hari kelahiran Sang Putra Fajar di Surabaya pada 6 Juni 1901; dan wafatnya pada 21 Juni 1970.
“Bung Karno wafat mewariskan perjuangan dan pengabdiannya bagi Indonesia Raya. Mewariskan cita-cita besar bagi kesejahteraan rakyat. Bagi generasi sekarang, bukan mewarisi abunya, tetapi mewarisi apinya,” ujar Adi Sutarwijono.
Salah satu “api” warisan Bung Karno yang paling relevan adalah gagasannya tentang kedaulatan pangan. Semangat inilah yang kini digalakkan di Surabaya melalui kebijakan pemanfaatan lahan-lahan kosong untuk pertanian produktif, atau yang dikenal sebagai urban farming.
Jika dulu Bung Karno menyebut Surabaya sebagai “dapur nasionalisme” tempat para tokoh pergerakan berkumpul, kini semangat itu bertransformasi dalam wujud dapur pangan bagi warganya. Salah satu contoh sukses adalah pemanfaatan lahan seluas 1,2 hektar di Kelurahan Tambak Wedi.
Diinisiasi oleh kebijakan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pasca-pandemi, lahan milik pemerintah kota yang semula kosong dan gersang kala itu, kini tampak hijau oleh tanaman jagung, sawi, ketela, waluh, pisang, hingga cabai.
Dikelola oleh Kelompok Tani “Nandur Makmur”, lahan ini bahkan baru saja menghasilkan panen jagung sebanyak 6,5 ton.
“Pemanfaatan lahan di Tambak Wedi dimulai tahun 2023. Selain Pemkot melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, pihak TNI dan kepolisian juga turut membantu,” ungkap Mundu, Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dari dinas terkait.
Ia menyebutkan, pertanian di kawasan Tambak Wedi telah cukup memadai, karena tersedia air dari sungai setempat. Untuk menggemburkan tanah, traktor sengaja diturunkan bekerja dengan cara membalik dan menghancurkan gumpalan tanah, sehingga tanah menjadi lebih gembur dan siap untuk ditanami.
“Selain jagung yang menjadi komoditi utama di Tambak Wedi, juga baru-baru ini ditanam pisang Carvendish,” jelas Mundu.
Adi Sutarwijono, yang turut hadir dan ikut memanen ubi ketela, memberikan dukungan penuh. Dibantu Suyono, Ketua Kelompok Tani “Nandur Makmur”, Adi mencoba mencabut ketela jenis ubi pulut dari tanah. Didampingi Wiyono, Ketua PAC PDI Perjuangan Kecamatan Kenjeran. Ibu-ibu yang lain menikmati pisang dan lombok.
“Saya memberikan dukungan untuk pemanfaatan lahan yang ada. Semua hasil, minimal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,” katanya di sela-sela kegiatannya.
Gerakan ketahanan pangan ini dijalankan langsung oleh masyarakat. Kelompok Tani “Nandur Makmur” terdiri dari lima orang. Suyono, sang ketua kelompok tani, mengaku bahwa bertani adalah panggilan jiwa yang diwarisinya.
“Saya menjadi petani. Asli. Keluarga saya adalah petani, dan saya generasi ketiga,” tuturnya bangga.
Inovasi tak berhenti di situ. Di lahan yang sama, Pipit, seorang peternak magot, memanfaatkan sisa-sisa organik dari hasil pertanian untuk pakan ternaknya.
“Kami manfaatkan sisa-sisa makanan, seperti buah mangga, waluh. Terima kasih kepada Walikota Eri Cahyadi atas kebijakannya,” ucap Pipit.
Menurut Adi, pertanian di Surabaya telah berevolusi. Tidak lagi hanya terpaku pada pola tradisional, tetapi berkembang menjadi urban farming yang variatif, seperti hidroponik, akuaponik, kebun atap (rooftop garden), dan kebun vertikal untuk menyiasati lahan terbatas.
“Sekarang berkembang urban farming yang diolah sesuai ketersediaan lahan, seperti hidroponik, aquaponik, rooftop garden, dan kebun vertikal,” jelas Adi.
Semua hasilnya, kata dia, minimal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti sawi, kangkung, lombok dan sebagainya yang cocok dengan kondisi lingkungan.
“Saya memberikan dukungan untuk pemanfaatan lahan yang ada,” pungkasnya.