Mahasiswa Teologi UKSW Desak Pemimpin Kembali pada Nilai Satya Wacana

DIAGRAMKOTA.COM — Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap arah kepemimpinan kampus yang mereka nilai telah menyimpang dari nilai-nilai dasar Satya Wacana. Dalam sebuah aksi damai yang digelar di lingkungan kampus pada Jumat (9/5/2025), para mahasiswa menyerukan perlunya koreksi struktural, pertanggungjawaban moral, serta pemulihan prinsip-prinsip keadilan institusional.

Aksi ini disuarakan secara terbuka dalam bentuk orasi, pernyataan sikap, dan seruan perubahan. Mereka mengecam model kepemimpinan yang dinilai represif dan minim partisipasi, yang dianggap mengabaikan kesejahteraan sivitas akademika serta masa depan mahasiswa.

“Kami menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di UKSW. Kepemimpinan saat ini telah menjauh dari visi Satya Wacana, khususnya dalam penerapan nilai-nilai Sapta-Gina dan semangat group-concept leadership,” tegas Vetrick Dolyver Sirait, Koordinator Aksi.

Dalam orasinya, Vetrick mengutip pemikiran pendiri UKSW, Dr. O. Notohamidjojo, S.H., yang menekankan bahwa pemimpin sejati harus memiliki vision dan insight, yaitu kemampuan melihat jauh ke depan dan memahami secara jernih persoalan yang ada. Namun, menurutnya, kenyataan saat ini justru menunjukkan hal sebaliknya.

“Aspirasi sivitas akademika diabaikan, perhatian terhadap kesejahteraan komunitas sangat minim, dan refleksi diri sebagai pemimpin hampir tidak terlihat. Ini bertentangan dengan semangat magistrorum et scholarium yang menjadi bagian dari visi Satya Wacana,” ucapnya.

Mahasiswa juga menyoroti kasus pemecatan Pdt. Rama Tuluss, yang dinilai sarat dengan ketidakadilan dan tertutupnya informasi publik. Mereka menyebut bahwa keputusan tersebut berdampak langsung terhadap proses pembelajaran dan moral komunitas teologi.

Lebih jauh, mahasiswa mengaitkan kasus tersebut dengan situasi serupa yang dialami oleh Fakultas Hukum, di mana terjadi pemberhentian sepihak terhadap dekan dan jajarannya. Bagi mahasiswa, peristiwa-peristiwa ini menunjukkan pola kepemimpinan otoriter yang menindas suara kritis.

“Ini bukan semata persoalan Fakultas Hukum atau Teologi. Ini persoalan prinsip, keadilan, dan arah kepemimpinan kampus secara keseluruhan. Kita harus bertanya: apakah kita akan terus diam? Apakah uang kuliah dan pengorbanan kita sebanding dengan kualitas yang kita terima?” ujar Vetrick dengan lantang.

Mahasiswa Fakultas Teologi menuntut:

  1. Penghentian penyalahgunaan kekuasaan dalam segala bentuknya, termasuk keputusan yang diambil tanpa dialog dan pertimbangan yang matang.

  2. Penerapan kepemimpinan yang adil dan partisipatif, yang menyediakan ruang diskusi terbuka, transparan, dan demokratis.

  3. Pertanggungjawaban atas tindakan ketidakadilan, terutama dalam kasus pemecatan Pdt. Rama Tuluss dan penonaktifan pimpinan di Fakultas Hukum.

  4. Pengembalian kepemimpinan UKSW kepada nilai-nilai Satya Wacana, berdasarkan prinsip Sapta-Gina yang mengedepankan perhatian, relasi yang luwes, keteladanan moral, serta ruang untuk refleksi dan kritik membangun.

Dalam konteks teologis, para mahasiswa menyebut bahwa mereka terpanggil untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan sebagai bagian dari tugas kenabian.

“Kita adalah bagian dari suara kenabian yang tak boleh dibungkam. Keadilan bukan milik satu fakultas, tetapi hak seluruh civitas akademika,” seru Vetrick menutup orasinya.

Aksi ini ditutup dengan doa bersama dan pembacaan ayat Kisah Para Rasul 4:32, sebagai bentuk pengingat spiritual akan pentingnya solidaritas dan kebersamaan:

“Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.”

(dk/ERDP)