Diagram Kota Jakarta – Pada hari-hari terakhir seminar nasional Jesuit Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyajikan presentasi yang menarik tentang sistem pendidikan gratis di negara-negara Nordik.
Dengan kehadiran para ahli dan akademisi, dia membahas bagaimana negara-negara ini, termasuk Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia, telah mencapai kesuksesan dalam memberikan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi kepada warganya.
Sri Mulyani menunjukkan bahwa sistem pendidikan gratis ini memungkinkan karena tingkat pajak yang signifikan yang dikenakan kepada warganya.
Dia menunjukkan bahwa negara-negara Nordik telah mencapai tingkat kebahagiaan yang tinggi dan sistem pelayanan publik yang memuaskan, yang mencerminkan kualitas sistem pendidikan yang didanai pajak.
Dia juga mengakui bahwa negara-negara Nordik telah menjadi contoh bagi banyak negara lain, termasuk Indonesia, yang telah menunjukkan minat dalam menerapkan sistem serupa. Bahkan dia sering ditanya tentang kemungkinan menerapkannya di Indonesia.
Sering juga orang-orang menyeletuk ‘mbok, ya, kayak Nordic country itu lho, segala macam bebas sampai perguruan tinggi, dari lahir sampai perguruan tinggi dia enggak perlu bayar apa-apa.’
“Memang anak itu enggak bayar, yang bayar itu orang tuanya, tax-nya bisa 65–70 persen dari income mereka,” kata Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Jesuit Indonesia, di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Selasa (11/06).
Dia mengakui bahwa sistem pendidikan gratis dapat menjadi tantangan bagi negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah, tetapi dia percaya bahwa itu adalah langkah penting dalam menciptakan masa depan yang lebih baik dan lebih inklusif bagi semua warganya.
Pendidikan adalah investasi dalam masa depan negara, dan bahwa itu adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa semua warganya memiliki akses ke pendidikan berkualitas tinggi.
Ia mengemukakan bahwa meskipun masyarakat di negara-negara Nordik tidak keberatan dikenakan pajak tinggi selama pelayanan publik seperti pendidikan disediakan oleh negara, konsep pendidikan ‘gratis’ tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya gratis.
Orangtua pada dasarnya membayar biaya pendidikan anak-anak mereka melalui pajak penghasilan yang tinggi.
“Orang menganggap semuanya gratis, tidak ada yang bayar. Tapi, di dunia ini tidak ada yang gratis. Jika kita ingin menciptakan jaring pengamanan sosial seperti di Nordik, maka kita harus bersiap dengan penarikan pajak penghasilan yang sangat tinggi,” jelasnya.
Sri Mulyani kemudian membagikan pengalaman pribadi seorang temannya dari Finlandia yang bekerja di Bank Dunia, yang harus rela gajinya dipotong hingga 70 persen untuk membayar pajak.
“Aku pernah punya teman di Bank Dunia, dia dari Finlandia. Saya tanya, ‘how much tax you pay?’ ‘Oh, around 70 percent’. ‘Jadi kalau kamu dapat 100 ribu dollar AS, kamu cuma dapat 30 ribu dollar AS?’ ‘Iya’,” kata Sri Mulyani.
Ketika ditanya apakah pajak besar tersebut memberatkan, temannya menjawab bahwa itu tidak menjadi masalah karena anak-anaknya bisa menikmati pendidikan gratis hingga perguruan tinggi.
Sri Mulyani menegaskan kembali bahwa tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini, termasuk pendidikan. Pernyataan ini muncul di tengah diskusi tentang kemungkinan penerapan sistem pendidikan gratis di Indonesia.
“You have to prepare for a very big high-income tax. Kalau Anda kepingin yang lebih liberal seperti Amerika, semuanya your own money, be individual freedom, Makanya I feel it inflasinya tinggi banget. The most expensive university fee, itu juga di Amerika Serikat,” tegasnya.
Pemerintah sebelumnya sempat berencana untuk menaikkan biaya kuliah atau uang kuliah tunggal (UKT) tahun ini, tetapi urung dilaksanakan menyusul adanya gelombang protes dari mahasiswa..
Di sisi perpajakan, Kementerian Keuangan telah menetapkan kebijakan peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan penyesuaian tarif baru Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Selain itu, ada pula kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan penerapan cukai jenis baru, seperti Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) dan Plastik, yang semuanya dapat memengaruhi daya beli masyarakat.
Sri Mulyani menekankan bahwa untuk menciptakan masyarakat sosial yang sejahtera, negara harus hadir dan tidak semuanya bisa diserahkan pada mekanisme pasar.
“Jika seluruhnya diserahkan pada mekanisme pasar, yang ada hanyalah akan terjadi eksploitasi,” pungkas Sri Mulyani. (dk/ria)