Denny Siregar: Kenaikan UKT Mencekik Mahasiswa dan Masa Depan Pendidikan Indonesia

PERISTIWA895 Dilihat

Diagram Kota – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin memberatkan mahasiswa dan orang tua kembali menuai sorotan tajam. Denny Siregar, seorang pengamat sosial dan politik, menyatakan bahwa masalah ini sudah lama diramalkan oleh banyak pengamat pendidikan yang menyebutkan bahwa mahalnya biaya kuliah terjadi karena lepas tangannya pemerintah dalam menangani pendidikan tinggi di Indonesia.

Pendidikan Tinggi dan Liberalisasi

Menurut Denny, setelah era wajib belajar 12 tahun yang meliputi SD hingga SMA, pendidikan tinggi di Indonesia menjadi pilihan tersier yang tidak wajib. Hal ini berarti bahwa mahasiswa memiliki kebebasan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak. Namun, dengan status sebagai pendidikan tersier, perguruan tinggi negeri (PTN) yang dahulu didanai penuh oleh pemerintah kini berubah menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), yang mengelola asetnya secara otonom termasuk menentukan besaran UKT.

Dampak Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi pendidikan ini, menurut Denny, telah mengubah PTN menjadi hampir setara dengan perguruan tinggi swasta (PTS) dalam hal pembiayaan, di mana kampus-kampus mengandalkan pendapatan dari mahasiswa. Hal ini menimbulkan masalah serius, terutama ketika biaya operasional seperti gaji dosen, peralatan, dan pembangunan gedung meningkat. Kenaikan biaya ini otomatis dibebankan kepada mahasiswa melalui kenaikan UKT, sementara pendapatan orang tua mahasiswa tidak mengalami kenaikan yang signifikan.

Baca Juga :  Klenteng Tri Dharma Teng Swie Bio Gelar Ritual Memandikan Rupang, Termasuk Rupang Tertua Warisan Leluhur

“Ketika seluruh kenaikan itu dibebankan pada mahasiswa, beratlah orang tua mereka untuk menanggungnya. Pendapatan orang tua mahasiswa tidak naik, sehingga mereka harus mengeluarkan biaya yang semakin besar untuk pendidikan anak mereka,” jelas Denny.

Risiko Terhadap Generasi Muda

Denny mengingatkan bahwa kondisi ini bisa membawa dampak berbahaya bagi masa depan bangsa. “Ketika mahasiswa tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya yang tinggi, peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak berkurang. Hampir semua perusahaan mensyaratkan calon karyawan memiliki gelar sarjana (S1). Jika tidak, mereka hanya bisa mengisi posisi rendah seperti office boy atau security,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa pemerintah memiliki visi untuk menciptakan generasi emas pada tahun 2045, namun kebijakan pendidikan saat ini justru dapat menjadi beban negara. “Tahun 2045 nanti, ledakan penduduk usia produktif yang tidak memiliki pendidikan tinggi bisa berujung pada meningkatnya kriminalitas dan masalah sosial lainnya,” tambahnya.

Pendidikan Sebagai Investasi

Denny juga mengkritik pendekatan pemerintah yang memandang pendidikan tinggi sebagai bisnis daripada investasi. Ia membandingkan dengan negara-negara maju seperti Jerman, Swedia, dan Denmark yang menggratiskan pendidikan hingga tingkat S3. “Di negara maju, pendidikan dipandang sebagai investasi. Pemerintah kita justru menjadikannya ladang bisnis, yang membuat banyak orang tidak mampu kuliah dan akhirnya tidak produktif,” ungkapnya.

Baca Juga :  Paguyuban RT/RW Surabaya Siapkan Program 2025 Berbasis Gotong Royong

Solusi dan Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah

Denny mengusulkan agar pemerintah mengubah cara pandangnya terhadap pendidikan dan menjadikannya prioritas utama. Ia juga mengkritik program student loan atau pinjaman untuk mahasiswa yang dinilai hanya menambah beban. “Mahasiswa yang meminjam untuk pendidikan akan terjebak dalam cicilan dengan bunga tinggi. Ini hanya menutup luka dengan plester, masalahnya akan terus melebar,” jelasnya.

Perbandingan dengan Proyek Infrastruktur

Denny menegaskan bahwa dana untuk pendidikan sebenarnya tersedia, tetapi pemerintah lebih memilih membiayai proyek-proyek besar. “Untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) saja bisa menghabiskan hampir Rp500 triliun, dan untuk program makan gratis bisa mencapai Rp400 triliun. Kenapa untuk pendidikan tidak ada dana?” kritiknya.

Harapan untuk Pemimpin Masa Depan

Denny menyimpulkan dengan menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat dan berkomitmen untuk menyelesaikan masalah pendidikan ini. “Jokowi sudah gagal meski memerintah selama 10 tahun. Apakah Prabowo nanti bisa menyelesaikan masalah ini? Kita lihat saja nanti,” tutupnya.

Implikasi Kenaikan UKT

Masalah kenaikan UKT bukan hanya berdampak pada akses pendidikan, tetapi juga pada keseluruhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Ketika pendidikan tinggi menjadi semakin sulit dijangkau, peluang bagi generasi muda untuk mendapatkan pekerjaan yang layak berkurang. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan pengangguran dan menurunkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

Baca Juga :  Kompetisi Basket SMP Kr Elia, Cetak Generasi Penuh Sportivitas

Peran Pemerintah dalam Pendidikan

Pemerintah memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang adil terhadap pendidikan. Dalam negara-negara maju, pendidikan dipandang sebagai hak dasar dan investasi jangka panjang untuk menciptakan masyarakat yang produktif dan inovatif. Denny menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus belajar dari negara-negara ini dan memperlakukan pendidikan sebagai prioritas utama.

Kenaikan UKT yang terus meningkat telah memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama mahasiswa dan orang tua. Denny Siregar, melalui pandangan kritisnya, mengajak pemerintah untuk kembali memikirkan kebijakan pendidikan yang lebih adil dan berkelanjutan. Pendidikan bukan hanya tentang biaya, tetapi juga tentang masa depan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Hanya dengan komitmen yang kuat dan kebijakan yang tepat, Indonesia bisa mencapai visinya untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera pada tahun 2045. (dk/red)

Share and Enjoy !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *