Diagram Kota Surabaya – Anak perempuan, terutama remaja, rentan mengalami gangguan dismorfik tubuh atau Body Dysmorphic Disorder (BDD) yang dapat berdampak negatif pada kualitas hidup mereka.
BDD adalah gangguan mental di mana seseorang memiliki persepsi yang tidak akurat terhadap penampilan fisiknya. Hal ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan penurunan harga diri yang signifikan.
Orang tua dan masyarakat memiliki peran penting dalam membantu anak perempuan mengatasi Body Dysmorphic Disorder (BDD) tersebut dengan pendekatatan dari hati ke hati membangun anak untuk percaya diri.
Selalu mendengarkan dengan empati, memberikan dukungan tanpa menghakimi, dan mengarahkan mereka untuk mencari bantuan profesional adalah langkah-langkah penting yang dapat dilakukan.
Selain itu, menciptakan lingkungan yang positif, mempromosikan citra tubuh yang sehat, dan mengajarkan nilai-nilai tentang kecantikan yang sejati juga dapat membantu anak perempuan membangun rasa percaya diri yang kuat.
Dengan dukungan yang tepat, anak perempuan dapat belajar menerima dan mencintai diri mereka apa adanya. Hal ini akan membantu mereka mengatasi BDD dan meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan.
Sebuah studi mengatakan anak perempuan terutamanya remaja, berpotensi enam kali lebih sering mengalami gangguan dismorfik tubuh atau yang lebih dikenal dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD) yang dapat memberi dampak negatif pada kualitas hidup anak.
Dilansir dari Medical Daily, Senin 1 April 2024, gangguan dismordik tubuh merupakan suatu kondisi kesehatan mental di mana penderitanya merasa terdapat kekurangan pada fisiknya dan dipikirkan secara berlebihan.
Dalam studi tersebut, penyakit mental itu mampu membuat penderitanya merasakan emosi negatif yang berdampak signifikan pada kualitas hidup. Kondisi tersebut seringkali tidak terdeteksi dan penderitanya sulit mendapatkan pengobatan di usia mudanya.
Profesor Psikolog dari Universitas College London Georgina Krebs menyebut biasanya penderita mengalami gejala seperti berpikir berlebihan tentang kekurangan atau kecacatan tubuh yang mungkin dirasa tidak penting oleh orang lain.
Gejala lainnya, yaitu penderita berulangkali memeriksa penampilannya di depan cermin atau mengambil foto dirinya (selfie) sambil mengalami serangan panik saat melihat kekurangan pada dirinya, merasa malu atau jijik pada tubuhnya, merasa takut karena berpikir orang lain akan menatap, menghakimi atau mengolok tubuhnya.
Krebs yang juga menjabat sebagai pemimpin Peneliti Georgina Krebs itu mengatakan gejala selanjutnya adalah timbul rasa memerlukan prosedur medis berulang, seperti bedah kosmetik, untuk memperbaiki kekurangannya hingga pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Penyebabnya sendiri belum diketahui secara pasti. Tapi para ahli percaya bahwa faktor-faktor seperti genetika, struktur otak, pengaruh budaya, dan riwayat pengalaman masa kecil yang buruk termasuk pelecehan, penelantaran, atau intimidasi dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi tersebut.
“Karena orang-orang muda dengan BDD cenderung tidak secara spontan mengungkapkan gejala-gejala mereka kecuali jika ditanya secara langsung, maka sangat penting bagi dokter untuk menggunakan alat skrining BDD dan bertanya langsung kepada orang-orang muda tentang masalah penampilan mereka,” kata Krebs.
Lebih lanjut melalui studi terbarunya, ia menganalisis data lebih dari 7.600 anak-anak dan remaja yang menjadi bagian dari survei kesehatan di Inggris.
Survei tersebut mencakup pertanyaan mengenai apakah anak tersebut pernah mengalami kekhawatiran tentang penampilannya. Responden yang menjawab sedikit atau banyak menjalani pemeriksaan tambahan untuk gangguan dismorfik tubuh.
Hasil yang diterbitkan dalam Journal of American Academy of Child and Adolescent Psychiatry menunjukkan bahwa gangguan dismorfik tubuh mempengaruhi 1,8 persen anak perempuan dibandingkan 0,3 persen anak laki-laki.
Para peneliti mencatat bahwa sekitar 70 persen anak-anak yang didiagnosis dengan BDD juga mengalami setidaknya satu gangguan psikologis lain seperti kecemasan dan depresi. Sehingga pasien muda dinilai memerlukan skrining gangguan kecemasan dan depresi hingga penyakit penyerta.
Kemudian sekitar setengah atau 42 persen orang-orang dengan BDD melaporkan tindakan menyakiti diri sendiri atau upaya bunuh diri, dibandingkan dengan hanya persen persen di antara mereka yang tidak mengalami gangguan tersebut.
“Keasyikan penampilan merupakan fenomena klinis yang signifikan, terkait dengan morbiditas substansial. Diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan BDD, meningkatkan praktik skrining, dan mengurangi hambatan terhadap pengobatan berbasis bukti” tulis para peneliti. (dk/akha)