Diagram Kota Jakarta – Menurut Abdul Chair Ramadhan, kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara dugaan pelanggaran administratif pemilu yang terstruktur, sistematis, masif (TSM).
Abdul menyatakan bahwa perkara TSM seharusnya diadili oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai dengan Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022. MK hanya berwenang mengadili keberatan terhadap hasil penghitungan suara sesuai dengan Undang-Undang Pemilu.
Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan batasan kewenangan MK dan peran Bawaslu dalam menangani dugaan pelanggaran administratif pemilu. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pembagian tugas antara lembaga-lembaga tersebut dapat memastikan proses pemilu yang adil dan transparan.
Dengan demikian, pemahaman yang jelas tentang kewenangan masing-masing lembaga menjadi krusial dalam menjaga integritas pemilu di Indonesia.
“Tegasnya, selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi,” kata Abdul saat memberi keterangan dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Gedung I MK RI, Jakarta, Kamis (4/4/2024)
Dia mengutip Pasal 475 ayat (2) Undang-Undang Pemilu bahwa “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Menurut Abdul, frasa hanya terhadap hasil penghitungan suara bermakna pembatasan kewenangan MK dalam mengadili sengketa pilpres. Di sisi lain, imbuh dia, terdapat dalil bahwa ketentuan hukum harus dilaksanakan berdasarkan susunan kalimatnya.
“Di sini tidak ada peluang untuk memperluas atau menafsirkan lain kewenangan MK tersebut. Dengan kata lain, tidak boleh ada rechtsvinding (penemuan hukum),” tutur dia.
Atas dasar itu, ia menyebut desakan kepada MK untuk melakukan upaya atau tindakan progresif guna mengadili perkara pelanggaran administratif pemilu yang bersifat TSM dan memutus pembatalan terhadap Prabowo-Gibran serta melakukan pemungutan suara ulang tidaklah dibenarkan secara hukum.
“Majelis hakim MK, ahli meminjam teori Von Buri, conditio sine qua non, bahwa tidak ada pelaporan administratif pemilu secara TSM kepada Bawaslu, maka akan berdampak terhadap pelaporan itu sendiri. Dugaan pelanggaran tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini tentu menjadikan MK tidak berwenang mengadili perkara a quo,” kata Abdul.
Dalam PHPU Pilpres 2024, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies-Muhaimin pada intinya meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun. (dk/ria)