Diagram Kota Surabaya – Memuji Jokowi dibilang memuja Jokowi, mengkritisi Jokowi dibilang menghujat dan membenci Jokowi, terus mau kalian ini apa?
Hari gini masih mau mendewa-dewakan orang, sudah tidak zamannya lagi. Ini sudah di abad modern, bukan lagi di zaman Romawi. Kekaguman dan kewaspadaan, harus diletakkan secara proporsional, berimbang.
Pada awalnya saya mengapresiasi cara berpolitik Jokowi, ia saya lihat cerdas dan tangkas dalam bermanuver politik. Bahkan saya pernah nyaris menganggap Jokowi sudah hafal benar strategi perang Sun Tzu, Gao Yuan, Salman Al Farisi dan lain-lain, yang hebat dan memukau.
Langkah-langkah politiknya Jokowi dahulu nyaris seperti yang dikatakan oleh Sun Tzu, ahli strategi perang Tiongkok klasik: Haluslah agar kau tak teraba, misteriuslah agar kau tak terlihat, maka akan kau kuasai lawan-lawanmu !
Diamlah seperti gunung dan menyeranglah seperti angin !. Ada lagi strategi, pukul rumput kagetkan ular dan sembunyikan kekuatanmu dihadapan musuhmu dan lain-lain.
Pokoknya gaya politik Jokowi dulu sangat hebat, makanya Jokowi membuat tidak berdaya lawan-lawan politiknya, hingga kemudian mereka satu persatu menyerah.
Namun belakangan saya perhatikan Jokowi mulai lupa diri, sanjungan demi sanjungan yang ditujukan padanya membuat jiwanya terbebani, maka Jokowi seolah ingin terus menunjukkan kehebatan berpolitiknya itu, dengan cara mempersiapkan anaknya untuk menjadi penerusnya.
Celakanya Jokowi ini masih menjabat sebagai Presiden, saat Jokowi mengangkat anak dan menantunya untuk menjadi Walikota, menjadi Ketua Umum PSI, adik iparnya menjadi Ketua MK dan terakhir anaknya menjadi Cawapres, ada hal yang dilanggar disana.
Yakni etika politik bersama penyalah gunaan berbagai fasilitas negara yang melekat pada dirinya sebagai seorang Presiden. Inilah yang membuat kita harus mengkritisinya, kecuali nalar dan nurani kita sudah mati selamanya.
Ada yang kemudian marah ke saya dan bilang bahwa saya sok-sok’an, sok pahlawan dan mengata-ngatai saya ketika saya bilang mari kita gelorakan kembali Reformasi Jilid II untuk melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kata mereka ke saya, “Memangnya kamu di waktu Reformasi ’98 dimana? Jangan sok-sok’an mengajak-ngajak reformasi !”.
Hei Pentel (Pendukung Jokowi Telat Mikir) ! Dengarkan: Jauh sebelum Reformasi ’98 itu saya dan kawan-kawan sudah terus menerus menulis dan berorasi, baik itu di pertemuan-pertemuan Mahasiswa dan Pemuda di Berlin, Bonn, Koeln, Nuernberg, Frankfurt Jerman maupun di Jakarta (Tahun 1991 sampai 1998), bahwa Rezim Soeharto harus ditumbangkan ! Bahwa multi partai harus kembali dihidupkan !
Bahwa Otonomi Daerah harus diselenggarakan ! Bahwa Dwi Fungsi ABRI (TNI) harus dicabut ! Bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus dipilih langsung oleh rakyat ! Bahwa lembaga Yudikatif haruslah mandiri terbebas dari intervensi Eksekutif maupun Legislatif !
Bahwa MPR haruslah direfungsionalisasi ! dan lain-lainnya. apakah kalian mengerti sejarah tentang semua itu, hingga kalian bisa menikmati apa yang dahulu kami dan kawan-kawan perjuangkan dengan resiko bertarung nyawa?!.
Semua agenda perjuangan itu kemudian kami rangkum dengan tiga kata, lawan Sentralisme, Militerisme dan Oteriterianisme !. Belakangan menjelang detik-detik Reformasi ’98, teman-teman seperjuangan lainnya menggantinya dengan istilah Anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Namun pada prinsip dan realitanya, agenda perjuangan kami itu sama, dan direalisasikan setelah Rezim Soeharto tumbang.
Memperhatikan dan merenungkan perjuangan kami dulu itu sebegitu keras dan beratnya, sampai mengorbankan banyak waktu, tenaga, air mata dan darah, tentunya saya dan kawan-kawan.
Sekarang ini kesalnya bukan main, karena dipikir-pikir kok apa yang dilakukan oleh Jokowi ini sudah mulai menjurus pada hal-hal yang dahulu kami lawan mati-matian.
Di tahun 1998 itu kami melihat kota-kota terbakar, manusia-manusianya juga banyak yang mati terbakar. Teman-teman seperjuangan sebelumnya juga banyak yang diculik oleh orang yang sekarang jadi Capres dan didampingi anaknya Jokowi.
Juga didukung oleh teman-teman yang dahulu diculiknya namun sudah jadi orang-orang kaya. Lalu perasaan kalian, jika kalian saat ini jadi saya dan melihat fenomena ini semua bagaimana? Diamkah? Terus menerus memuji Jokowikah? Tentu tidak bukan?
Saya menjadi bagian dari rakyat yang terluka bukan karena saya iri melihat teman sesama Aktivis ’98, yang dahulu berjuang bersama saya dan sering saya anterin pakai motor kemana-mana sebelum dia diculik sekarang sudah jadi pejabat, tidak. Bukan itu alasannya.
Bukan pula karena saya iri melihat teman sesama Aktivis ’98 yang dahulu sering saya kunjungi waktu dia dan kawan-kawan lainnya dipenjara di Cipinang, dan yang juga sering membawakan tas ransel saya saat saya baru pulang dari Jerman.
Dan saya jadi saksi meringankan kasus politik di Jerman, Sri Bintang Pamungkas di Pengadilan Jakarta akhir tahun 1995, lalu kemudian dia jadi tokoh Aktivis populer dan kemudian menyebrang ke Prabowo, itu juga tidak.
Saya kesal dan mulai berteriak kencang mengkritisi Jokowi, karena saya perhatikan Jokowi sudah jauh melenceng dari cita-cita Reformasi ’98 yang dahulu kami semua perjuangkan.
Bagaimana bisa orang yang dahulu kita dukung dan bela, kemudian bersekutu dengan Mafia Minyak Goreng, bersekutu dengan orang yang dahulu dipecat dari militer karena kasus penculikan teman-teman Aktivis ’98, bersekutu dengan penerus Rezim Soeharto yang dahulu kami lawan habis-habisan?
Saya manusia yang merdeka dalam berpikir, saya tak mau terus kalian paksa-paksa untuk mendukung Jokowi yang sudah menyelewengkan kepercayaan kami ! Sapere aude ! Beranilah berpikir !…(SHE).
*Saiful Huda Ems (SHE). Salah seorang pelaku dan saksi Sejarah Reformasi ’98. Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se Jerman di Berlin Jerman 1994/1995.