Jalan Karet dari Masa ke Masa

Sejarah1358 Dilihat

Diagram Kota Surabaya – Jalan Karet, Surabaya dikenal sebagai bagian dari kawasan Kampung Pecinan. Tiap hari, jalan ini tidak pernah sepi dari sibuknya lalu lintas kendaraan. Bahkan ada kendaraan ekspedisi dengan ukuran besar. Bongkar muat barang sering menambah kesibukan jalan.

Kecuali pada hari libur, jalan yang membujur dari selatan ke utara dan sejajar dengan Kalimas (Pa-Tsih-Kan) ini, terlihat lengang. Disaat itulah eksotik jalan Karet dapat dinikmati.

Tapi Jalan Karet, yang dulu bernama Chinesvoorstraat ini, justru menjadi bagian paling penting dalam sejarah peradaban Pecinan di Surabaya. Jalan ini terhitung jalan yang paling tua di antara jalan jalan lainnya di kawasan Pecinan.

Setidaknya, keberlangsungan peradaban Pecinan ini ditandai dengan hadirnya tiga keluarga etnis Tionghoa yang berpengaruh, yakni Marga Han, The dan Tjoa pada awal abas 18.

Di tempat yang sama, beberapa abad sebelumnya, gelombang imigran dari daratan China juga sudah masuk dan menempati kawasan ini.

Jalan Karet Surabaya
Jalan Karet di abad 18 menghadap ke arah barat (Kampung Eropa Surabaya)

Dalam catatan Ma Huan, yang kemudian ditulis Groenneveld dalam bukunya Notes in the Malay Archipelago and Melacca, compiled from Chinese Sources (1876), dikisahkan bahwa Ma Huan, yang mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam perjalanan ke Majapahit pada 1433, berhenti di tepian sungai yang telah dihuni oleh warga etnis Tionghoa. Mereka ini diduga adalah keturunan orang orang dari pasukan Mongol yang masuk pada 1293 M.

Di tepian sungai Pa-Tsih-Kan (Kali Surabaya/Kalimas) inilah awal permukiman warga etnis Tionghoa di Surabaya. Kalimas memang menjadi jalur utama yang menghubungkan pedalaman Jawa dan lautan lepas. Kalimas menjadi urat nadi perekonomian, perdagangan, perhubungan dan pembangunan.

Tidak heran jika dari zaman ke zaman Pa-Tsih-Kan menjadi jalur yang dilalui oleh para pendahulu untuk tujuan kota raja seperti yang dilakukan Cheng Ho. Claudia Salmon dalam The Origine of Chinese Community in Surabaya (2009) menuliskan bahwa masyarakat Tionghoa mendiami Surabaya sejak awal abad 15, yang tercatat sejak datangnya Cheng Ho. Mereka ini berasal dari Guangdong dan Fujian.

Diketahui bahwa Cheng Ho adalah seorang Cina muslim yang dalam ekspedisi di tanah Jawa ini adalah dalam rangka menyebarkan ajaran Islam, termasuk penyebaran ke Majapahit. Agama Islam adalah agama yang sudah lama ada di China.

Diduga dari jejak kedatangan Cheng Ho ke Majapahit dengan melalui beberapa tempat termasuk Surabaya, ajarannya ikut menyebar  melalui tempat tempat yang disinggahi. Surabaya dengan kampung Pecinan adalah salah satu di antaranya.

Maka tidaklah heran jika anggota keluarga dari marga Han yang datang ke Jawa Timur ada yang memeluk agama Islam. Anggota keluarga Han yang datang dan tinggal di Jawa Timur ini adalah tiga dari lima anak Han Siong Kong (1678 – 1743) yang masuk di Jawa dan bermukim di Lasem, Jawa Tengah.

Tiga dari lima anak Han Siong Kong ini adalah Han Bwee Kong pindah ke Surabaya dan dua lainnya, Han Hing Kong dan Han Tjien Kong atau Soero Pernollo, menuju Besuki dan menetap di sana. Han Tjien Kong atau Soero Pernollo memeluk agama Islam.

Han Bwee Kong (1727-1778) lah yang mengawali marga Han di Surabaya. Ia selanjutnya menikah dengan Cen Ciguan (1730-1778). Menurut catatan Claudine Salmon dalam The Han Family of East Java Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries), bahwa pasangan Han Bwee Kong dan Cen Ciguan yang meninggal di tahun yang sama (1778) dimakamkan di pemakaman Cina, yang ada di belakang rumahnya, yang kini dikenal dengan Pasar Bong. Bong adalah kuburan Cina.

Menurut catatan seorang pengarang Yan Congjian dari abad 16 bahwa di Surabaya sudah banyak orang orang China yang memeluk agama Islam. Orang orang itu termasuk keturunan Han Bwee Kong.

Kampung Pecinan Surabaya sebagai tempat permukiman orang orang China pernah memiliki pintu gerbang sebagai bagian dari sistim keamanan lingkungan. Dalam foto foto lama yang mengabadikan jalan Karet sempat ada pintu gerbang sebagai sekat yang melindungi kawasan permukiman.

Sementara dari lukisan Surabaya oleh Johannes Rach, yang menggambarkan suasana Surabaya tahun 1787, terlihat sebagian jalan Chinesvoorstraat yang masih langsung bisa melihat ke arah sungai Pa-Tsih-Kan. Sedangkan rumah rumah yang berdiri di sepanjang jalan Chinesvoorstraat, semua menghadap ke arah sungai Kalimas.

Kini, Chinese Voorstraat yang bernama jalan Karet, telah berpagar gedung yang sudah  berdiri sejak era kolonial. Sungai Kalimas tidak bisa lagi dipandang dari jalan. (dk/nanang purwono)

 

Share and Enjoy !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *