Kebun Binatang Surabaya, Banyak yang belum Tahu Jejak Sejarahnya

Sejarah2292 Dilihat

Diagram Kota Surabaya – Siang itu, Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (KBS) terlihat lengang. Maklum, masih dalam masa pandemi. Padahal normalnya, Sabtu terhitung hari peak season. Akhir pekan yang dibanjiri pengunjung.

Lingkungan KBS sangat asri. Lebat dengan pepohonan lindung besar. Di antaranya pohon asam yang tertata rapi di kiri kanan jalan taman. Masih banyak lagi jenis pepohonan lindung yang memayungi area kebun. KBS seolah beratap dedaunan.

Sekilas, suasana bagai di lingkungan alam pegunungan. Apalagi di salah satu spot terdapat siti hinggil atau lemah duwur, berbentuk gundukan yang sangat lebat dengan pohon-pohon. Menapaki ke atas tanah ini seolah teringat elavasi di alam pegunungan. Di situ terpasang papan bertuliskan “Taman Selfie”.

Untuk memasuki siti hinggil harus melewati gapura yang diapit sepasang Arca Dwarapala. Menurut pegiat sejarah klasik, Tri Priyo Wijoyo, gundukan tanah ini diduga sebuah situs arkeologis.

Merujuk pada buku Tanda Cinta 100 Tahun Kebun Binatang Surabaya Dalam Kisah dan Cerita, disebutkan bahwa di sekitar lemah duwur ini diyakini orang-orang tertentu sebagai tempat bersemedi.

Seiring berjalannya waktu, perubahan pun terjadi.  Lingkungan KBS terlihat lebih bersih dan rapi. Jalanan dan pelataran terbuka dipaving. Meski begitu, secara natural, air hujan masih dapat diserap ke dalam tanah dengan cepat.

Kandang-kandang satwa yang terbuka masih lengkap dengan lanskap yang mampu manangkap air hujan, baik langsung tertampung kolam maupun terserap ke dalam tanah.

Hanya sebuah pelataran terbuka yang tidak dipaving, yaitu area yang terdapat sebuah prasasti cagar budaya yang dikeluarkan oleh wali kota Surabaya dengan SK 188.45/004/042.104/1998 bernomor urut 55. Area ini menunjukkan kondisi alam aslinya. Sama seperti ketika belum ada pavingisasi.

Prasasti cagar budaya ini menegaskan bahwa KBS bukan sekadar taman satwa dan flora, seperti nama awalnya Soerabaiasche Planten en Dierentuin yang dibuka pada 1916. Jejak-jejaknya masih bisa dilihat dan dinikmati sebagai bagian dari wahana rekreasi hingga sekarang. Di mana KBS sudah menjadi benda, bangunan, kawasan serta situs yang dilindungi karena sudah masuk kategori cagar budaya.

 

foto: Nanang Puwono, ketua Begandring Soerabaia

Perubahan sebagai upaya penataan lingkungan KBS memang harus dilakukan sesuai perkembangan zaman. Tapi keberadaan benda dan bangunan yang ternyata masih ada sejak dibukanya KBS ini, sangat layak untuk dilestarikan demi tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata. Hal ini sesuai amanah Undang-Undang Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya.

Penempatan kandang-kandang binatang yang masih disitu merupakan wujud tata ruang yang sudah sangat diperhitungkan ketika membangun Dierentuin ini, awal Abad 20.

Belum lagi material kandang dan sangkar yang terbuat dari jeruji dan pagar besi pilihan. Meski sudah 100 tahun lebih, kondisi besinya masih utuh. Tidak korosi. Ini layak menjadi objek penelitian sipil.

Soerabaiasche Planten en Dierentuin  membutuhkan air dalam jumlah besar untuk mencukupi kebutuhan satwa dan tanaman. Karenanya, kebutuhan air diambilkan secara alami dari Kali Surabaya yang dipompa masuk ke dalam kebun, lalu didistribusikan ke titik-titik di mana satwa-satwa berada.

“Konstruksi pengairan mulai dari bak penampungan hingga pipa pipa bawah tanah yang menjalar ke beberapa titik masih terjaga dengan baik,” terang Humas KBS Agus Supangat kepada begandring.com.

Tidak cuma sirkulasi air di dalam area kebun, sistem pembuangan air ke luar kebun pun masih berfungsi dengan baik.

“Meski area kebun ini relatif lebih rendah dibanding jalan di luar, tapi tempat ini gak pernah banjir,” jelas Agus.

Secara vegetatif, KBS terlihat sukses mempertahankan fungsi sebagai kebun flora. Sehingga, kebun ini bisa menjadi paru-paru kota. Masuk ke dalam KBS dapat merasakan hawa segar dan pemandangan sejuk di mata. Serba hijau sejauh mata memandang. Baik secara horizontal maupun vertikal.

***

foto: begandring

Karena KBS sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, maka kiranya publik harus diajak belajar tentang makna kecagarbudayaan. Mengapa dicagarbudayakan? Apa saja yang dianggap benda, bangunan, kawasan dan bahkan situs cagar budaya?

Pada akhirnya, Taman Satwa KBS tidak saja sebagai pusat konservasi, penelitian, pengembangan, pendidikan, dan rekreasi, tapi juga wahana cagar budaya yang tidak lepas dari nilai kesejarahan.

Sudahkah publik dan pengunjung mengetahuinya?

Jawaban ini menjadi tanggung jawab bersama. Khususnya bagi pengelola maupun Pemerintah Kota Surabaya karena KBS ini sudah dikelola Pemerintah Kota Surabaya dalam bentuk perusahaan daerah (PD).

Melihat prasasti yang sudah terpasang sejak 1998, maka perlu ada penjelasan, apakah benda, bangunan, kawasan dan bahkan situs yang dianggap sebagai cagar budaya?

Penyertaan penjelasan adalah bagian dari sarana edukasi guna melengkapi wahana edukasi dari KBS itu sendiri.

Selama ini. belum ada media penjelas pada bagian bagian yang dianggap cagar budaya. Salah satu bangunan di dalam KBS yang layak ditetapkan sebagai cagar budaya adalah Menara Pengintai. Posisinya menghadap ke arah Jembatan Wonokromo.

Menara Pengintai ini dibuat di masa Belanda, digunakan untuk memantau hilir mudik dan suasana di sekitar Jembatan Wonokromo.

Dari beberapa foto lama yang dimiliki lembaga kearsipan Kerajaan Belanda, KITLV, terlihat pasukan Belanda sedang berpose dan bersiap di area Kebun Binatang (Dierentuin). Kawasan Wonokromo, persis di sekitar jembatan, merupakan titik di mana pejuang pejuang Surabaya bertahan dan bergerak mundur.

Dari Wonokromo, mereka bercabang dua. Ada yang mundur ke selatan (ke arah Sidoarjo) dan ke arah barat (ke arah Sepanjang). Ini adalah kisah perjuangan Arek-arek Suroboyo yang bisa dikaitkan dengan keberadaan menara pengawas dan pengintai yang ada di dalam. KBS.

Menurut Agus Supangat, dulu pernah ada rencana akan dipasang  plakat berisi keterangan tentang benda, bangunan, kawasan atau situs yang menjadi cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya. Tapi hingga saat ini masih belum ada realisasi.

“Semoga keterangan terhadap bangunan yang dianggap cagar budaya bisa dipasang sebagai pendukung media edukasi di KBS,” pungkas Agus Supangat. (dk/red)

Ditulis Oleh : Nanang Puwono, ketua Begandring Soerabaia

Share and Enjoy !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *